Oedipus Complex

669 kali dibaca

Baru-baru ini warga Kota Bukittinnggi, Sumatra Barat, dikejutkan oleh kasus incest yang melibatkan seorang anak dengan ibu kandungnya. Incest, atau hubungan seks sedarah, itu terjadi sejak sang anak duduk di bangku SMA dan kini telah berusia 28 tahun. Diperkirakan, kasus incest itu baru terbongkar setelah berlangsung selama 11 tahun. Kabar itu begitu mengguncang, dan menjadi perbincangan di jagat maya.

Bagi saya sendiri, incest seperti itu tak begitu mengejutkan. Sebab, gejalanya memang nyata ada di sekitar masyarakat manusia sejak begitu lama. Hanya, kita pandai menyembunyikannya di bawah selimut. Bisa selimut sosio-budaya ataupun sosio-agama. Atau kita melemparkannya sejauh alam mitologi.

Advertisements

Kita tahu, Sigmund Freud menyebut gejala ini sebagai Oedipus Complex. Kenapa? Mungkin Frued hanya punya satu referensi: mitologi Yunani. Jika tersedia referensi lain, mungkin Frued akan menyebutnya secara berbeda. Bisa jadi Sangkuriang Complex.

Pada mitologi Yunani, kita disuguhi karakter Oedipus Rex. Ia anak dari Laios dan Iokaste, penguasa Thebes. Sebelum Oedipus lahir, seorang peramal menujum bahwa Raja Laios kelak akan mati di tangan anak kandungnya sendiri. Dihantui ramalan itu, saat mulai tumbuh besar, Oedipus dipasung hingga kakinya bengkak —arti oedipus adalah orang berkaki bengkak. Meski Oedipus hidup dalam pasungan, ternyata tak membuat Raja Laios merasa aman. Sang anak kemudian dibuang ke pengasingan.

Selama dalam pengasingan itu, Oedipus terobsesi akan kecantikan ibunya dan kekuasaan ayahnya. Untuk bisa memiliki ibunya dan berkuasa seperti ayahnya, maka tak ada jalan lain kecuali membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Dan, kita tahu, tragedilah yang kemudian terjadi. Diselubungi kabut misteri, sang ibu, Iokaste, akhirnya gantung diri. Dan, menyadari apa yang terjadi, Oedipus akhirnya membutakan matanya dan pergi meninggalkan Thebes sampai meninggal di pengasingan.

Tragedi Odeipus Complex itu oleh Freud digunakan untuk memperjelas teorinya yang kita kenal sebagai psikoseksual dalam karyanyaThe Interpretation of Dreams. Berdasarkan teori Freud, ada masanya anak laki-laki menginginkan belaian kasih sayang dari ibunya dan menganggap sang ayah sebagai pesaingnya; atau anak perempuan terobsesi dengan kasih sayang ayahnya dan memandang ibu kandungnya sebagai pesaingnya.

Kita kadang-kadang tidak berani menempatkan kenyataan sebagai kenyataan, bahkan sampai Freud pun merasa perlu memperkuat teorinya dengan mitologi Yunani itu. Sehingga, seakan-akan, ada pembenaran bahwa incest hanya bisa terjadi di alam mitologi. Persis, ketika kita mendaku hal seperti itu hanya terjadi pada dongeng Sangkuriang.

Konstruksi ceritanya nyaris sama. Kita disuguhi karakter Sangkuriang. Dalam cerita rakyat itu, ada seorang pangeran dari negeri Kahyangan jatuh cinta kepada Dayang Sumbi. Sang pangeran meminta restu kepada ayahnya. Restu diberikan dengan satu syarat: putra dewa itu harus berubah wujud menjadi seekor anjing saat Dayang Sumbi melahirkan anaknya. Dan itulah yang kemudian terjadi.

Ketika sedang berburu di hutan, tak sengaja Sangkuriang membunuh seekor anjing yang bernama Tumang, yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri. Ketika cerita itu disampaikan kepada Dayang Sumbi, amarah sang ibu meledak sampai memukul kepala Sangkuriang. Sangkuriang pun terusir dari rumah dengan membawa luka di kepala. Ketika suatu saat mereka bertemu kembali, tanpa tahu identitas masing-masing, anak dan ibu ini saling jatuh cinta dan berniat hidup bersama dalam satu bahtera rumah tangga.

Kita tahu, tragedi inilah kabut misteri yang melatari riwayat Gunung Tangkupan Perahu. Plotnya mungkin sedikit berbeda, tapi esensinya sama belaka: ada oedipus complex di sana. Ada incest di sana. Dan jika kita mengikuti proses penyusunan teori psikoseksual Freud, jelas teori itu tidak lahir dari ruang hampa. Ada fakta-fakta, ada gejala-gejala, yang memungkinkan teori itu ada.

Begitu nyatanya gejala-gejala itu ada, sampai ada satu hadis yang menyinggung masalah ini. Inilah hadisnya: “Riba itu ada 73 dosa. Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang menzinai ibu kandungnya. Sedangkan, dosa riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dan dalam Syuabul Iman, Syekh Al-Bani menyebut hadis ini sahih. Apa yang dikatakan Nabi Muhammad dalam hadis ini jelas tidak datang dari ruang hampa. Bayangkan, untuk menggambarkan dosa riba, Nabi harus menganalogikan (atau diqiyaskan) dengan dosa meniduri ibu kandungnya atau saudara kandungnya.

Dengan konstruksi seperti itu, di zaman Nabi Muhammad, sangat mungkin gejala-gejala incest itu ada, dan nyata, seperti halnya perkara riba. Sebab, tidak mungkin dosa riba dianalogikan dengan dosa perzinaan dengan ibu kandung atau saudara kandung jika yang disebut terakhir tak pernah ada di tengah kehidupan masyarakatnya.

Kita boleh membuang jauh-jauh gejala itu ke alam mitologi. Tapi teori Freud membuktikan gejala itu tak pernah benar-benar hilang dari alam bawah sadar, dari timbunan mimpi-mimpi kita, bahkan hingga kini. Saya termasuk orang yang sesekali iseng bermain “roleplay” di jagat maya melalui platform percakapan anonymous. Di sana, “roleplay” dengan tema incest ternyata menjadi salah satu yang digandrungi. Entah itu incest antara anak-bapak, anak-ibu, atau saudara sekandung.

Artinya apa? Di alam bawah sadar generasi milenial kita, di bawah timbunan mimpi-mimpi generasi milenial kita, ada obsesi khusus terhadap perkara incest ini. Mungkin ada yang bisa menguburnya selamanya. Mungkin ada yang melampiaskannya melalui “roleplay”. Mungkin juga ada yang bisa “menjadikannya nyata” seperti yang terjadi di Bukittinggi itu.

Manusia memang makhluk yang kompleks. Sangat kompleks bahkan. Tinggal bagaimana kita bisa mengelolanya dengan baik, agar tidak menjadi Oedipus atau Sangkuriang atau remaja dari Bukittinggi itu.

Multi-Page

One Reply to “Oedipus Complex”

  1. Karena Oedipus Complex, atau incest, hubungan sedarah, atau apalah nama lainya merupakan gejala tealitas, kelaluan bukan kebaruan, maka diperlukan kewaspadaan paripurna untuk membentengi diri dan keluarga dari perbuatan menyimpang ini. Tidak cukup sekadar paham efek dan dampaknya, baik dari sisi agama maupun dari aspek kesehatan, namun yang paling penting adalah menjaga jarak (sejauh-jauhnya) dengan perbuatan haram ini. Tentu ada kiat-kiat khusus yang tidak dijelaskan oleh Mas Kiai Mukhlisin, yang patut dan pantas untuk kita ketahui.

    Pointnya bahwa hubungan sedarah bukan hanya sebuah dongeng, metos, atau metologi, namun nyata adanya dalam kehidupan, dekat di antara pernak pernik kesibukan kita sehari-hari. Hee,,, kejadian ini begitu viral meskipun saya sendiri kurang mengikuti. “Waspadalah… waspadalah…!” Kata Bang NAPI,,,🙏🙏🙏

Tinggalkan Balasan