Nyai Rahmatun (5): Dipersekusi Ulama Radikal

1,282 kali dibaca

Perjalanan dakwah almarhumah Nyai Rahmatun tidak selalu berjalan mulus. Ia kerap mengalami kisah pilu, berliku, dan menguras emosi. Bahkan, apa yang ia alami tak jarang mengundang kemarahan dari orang-orang yang menghormati dan menyayanginya.

Sebagai dai perempuan yang ditekuninya sejak remaja, yaitu antara tahun 1960-an sampai 2000-an awal, tidak jarang Nyai Rahmatun memperoleh perlakuan tak mengenakkan, semacam persekusi. Ada pihak-pihak atau kelompok memperlakukannya semena-mena. Ada yang mempersulit jalan dakwanya. Ada pula yang mengancam keselamatan jiwanya. Ada pula kelompok “radikalis” yang tidak menghendaki pendakwah perempuan eksis di ranah publik.

Advertisements

Waktu itu memang jarang sekali ada dai perempuan yang berani tampil dari panggung ke panggung, kecuali ada satu dua saja. Sehingga, Nyai Rahmatun menjadi pusat perhatian khalayak karena menjadi dai perempuan terpopular saat itu.

Banyak sekali sumber-sumber yang menceritakan hal itu kepada penulis, mulai dari para orang tua kuno dan anak muda yang mendengar dari kakek nenek mereka yang mengikuti perjalanan dakwah Nyai Rahmatun.

Samirah, seorang warga desa Moncek Tengah bercerita, bahwa pada sekitar tahun 1970-an almarhumah Nyai Rahmatun, yang telah mendapat restu dari suami dan guru-gurunya untuk berdakwah di ranah publik, kerap mendapat sepucuk surat berisi cemoohan dan cacian yang tidak etis diucapkan.

Surat itu dating dari “ulama radikal” yang meminta agar Nyai Rahmatun berhenti berdakwah dan berceramah di atas panggung maupun pengajian-pengajian yang diadakan di rumah-rumah warga secara bergiliran.

Tidak sampai di situ, Nyai Rahmatun juga seringkali menerima pesan dari “si ulama radikal” tersebut melalui orang yang sengaja diutus untuk menyampaikan larangannya itu. Sebab, menurutnya, suara perempuan tidak pantas didengarkan laki-laki karena diangggapnya sebagai aurat dan haram hukumnya. Perempuan juga dianggap tidak tahu malu jika berjalan di jalanan umum, meskipun untuk menghadiri majlis taklim maupun majlis zikir.

Sungguh kami sangat sedih mendengar hal itu,” ucap Samirah suatu hari.

Namun, segala ancaman itu tidak diindahkan oleh Nyai Rahmatun demi tekadnya yang sudah bulat untuk memberdayakan kaum perempaun tempo dulu, khususnya remaja dengan ilmu pengetahuan agama, dan menanamkan serta menumbuhkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Oleh karenanya, Nyai Rahmatun tetap melalui tantangan dan rintangan tersebut dengan ikhlas. Hingga sampai pada suatu kejadian yang, menurut banyak masyarakat dan santri-santrinya, tidak pernah bisa dilupakan.

Hal mengerikan tersebut terjadi ketika “si ulama radikal” melakukan persekusi kepada almarhumah Nyai Rahmatun dengan senjata tajam. Ulama radikal ini mengadang serta memburu Nyai Rahmatun beserta kelurganya, dengan tujuan hendak menghabisi nyawanya. Nyai Rahmatun dan suaminya yang berlari menghindari hal itu sampai terjatuh dengan luka-luka bersimbah darah.

Saya kalau ingat itu tidak bisa berhenti nangis sampai sekarang,” kata Samirah sambil berlianang air mata.

Masyarakat yang menyaksikan langsung kejadian itu dengan mata kepala mereka, dengan sigap menyembunyikan Nyai Rahmatun dan keluarganya di suatu tempat hingga akhirnya mengungsikannya ke daerah lain, yaitu desa perbatasan antara Moncek Barat dengan Bilapora.

H Rifa’i, seorang pedagang sukses yang disegani dan terpandang di desanya, yang mati-matian membela Nyai Rahmatun, sempat menghadapi “si ulama radikal” tersebut dengan tangan kosong

Sungguh mengerikan saya melihatnya,” kata Samirah sambil menutup wajahnya. “Sampai salah satu lengannya terluka oleh senjata tajam tersebut,” lanjutnya.

Dengan terlukanya H Rifa’i, ternyata membuat keluarga besarnya tidak terima dan melaporkannya ke polisi. “Si ulama radikal” tersebut akhirnya mendekam di penjara untuk beberapa lama.

Selama pengungsiannya di desa lain itu, Nyai Rahmatun dan keluarganya diperlakukan secara terhormat oleh penduduk setempat. Bahkan ada yang sampai menawarkan sebuah lahan dan beberapa pohon kelapa dan jati serta alat-alat bangunan lainnya untuk dibangun sebuah rumah bagi Nyai Rahmatun beserta keluarganya sekaligus untuk pesantren.

Mendengar hal itu, Nyai Rahmatun tidak langsung menerima, namun juga tidak menolak tawaran tersebut, mengingat setiap hari dan malam, masyarakat Moncek Tengah secara berbondong-bondong mengunjunginya dan keluarganya dengan membawakan makanan, pakaian, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Di saat yang, masyarakat dari desanya terus membujuk Nyai Rahmatun agar kembali pulang ke desa asalnya, dan berjanji akan menjamin keselamatannya. Mereka juga menceritakan bahwa “si ulama radikal” yang mempersekusinya itu sudah berhasil mereka jebloskan ke dalam penjara.

Sementara itu, rumah kediaman Nyai Rahmatun Nur di Desa Moncek Tengah dijaga ketat oleh aparat keamanan (polisi) dan masyarakat, karena dikhawatirkan akan ada pihak-pihak yang bersekongkol dengan “si ulama radikal” untuk memata-matai keadaan sekitar.

Dan seperti yang diceritakan juga oleh Supyati, Atiyah, dan masih banyak lagi, kediaman Nyai Rahmatun itu dipenuhi dengan makanan pokok; seperti gula, beras, kopi, minyak, rokok, telur, kambing, ayam, pakaian, dan juga perabotan rumah tangga yang dibawa oleh masyarakat untuk diberikan kepada Nyai Rahmatun setelah pulang.

Pokoknya seru,” kata Supyati sambil tetawa sekaligus menangis, mengenang kejadian itu.

Dengan iring-iringan masyarakat Moncek Barat dan Bilapora, akhirnya Nyai Rahmatun kembali pulang ke desa asalnya itu dengan disambut suka cita oleh masyarakat setempat. Dan yang menarik, ada masyarakat yang menyambutnya dengan tabuhan hadrah dan selawat, anak-anak kecil yang menari dan para orang tua yang memasak masakan enak dan banyak untuk menyambut Nyai Rahmatun dan keluarganya itu.

Suasana hangat dan meriah sekaligus mengharukan itu mirip dengan kejadian saat kaum Ansor dari masyarakat Madinah menyambut kedatangan Nabi Muhammad Saw beserta kaum Muhajirin yang hijrah dari Mekah.

Co locoh ngennes mun enga, (lucu sekaligus sedih kalau ingat itu),” tutup Supyati dengan logat Maduranya.

Multi-Page

4 Replies to “Nyai Rahmatun (5): Dipersekusi Ulama Radikal”

  1. Agak marenges saya membaca “ulama radikal” yang sampai tega ingin membunuh Nyai Rahmatun. Tetapi memang demikian biasanya, ketika seseorang telah mencapai derajat keimanan yang menembus “langit”, maka ujian pun semakin besar. Dan Nyai Rahmatun mampu melewati ujian dengan gemilang. Semoga Beliau dalam barokah Allah di alam keabadian. Aamiin!

Tinggalkan Balasan