NU dan PR 5.0: Dakwah, Narasi, dan Teknologi

Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terkoneksi, kekuatan sebuah organisasi tidak hanya terletak pada jumlah anggotanya, tetapi juga pada kemampuannya membangun narasi yang kuat, menjaga reputasi, dan mengelola persepsi publik. Di sinilah Public Relations 5.0 (PR 5.0) menjadi sangat relevan, terutama bagi organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU).

NU bukan hanya ormas Islam terbesar di Indonesia, tetapi juga representasi dari Islam yang ramah, moderat, dan berakar pada tradisi lokal. Tantangannya kini adalah: bagaimana nilai-nilai luhur NU tetap relevan, diterima publik muda, dan menjangkau dunia internasional di era digital yang cepat berubah?

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Apa Itu PR 5.0?

Menurut profesor komunikasi strategis Philip Sugai (2021), PR 5.0 adalah pendekatan komunikasi yang menggabungkan teknologi cerdas, empati manusia, dan narasi bermakna untuk membangun hubungan yang berkelanjutan antara organisasi dan publiknya. Dalam konteks keagamaan, PR 5.0 bukan hanya alat promosi, tapi alat dakwah strategis.

PR 5.0 bekerja dengan tiga prinsip utama. Pertama, dakwah berbasis narasi otentik: Konten harus mencerminkan nilai dan realitas. Kedua, pemanfaatan teknologi digital: Menggunakan media sosial, AI, big data, dan platform digital untuk menyebar pesan. Ketiga, fokus pada hubungan dan reputasi: Membangun kepercayaan, bukan hanya popularitas.

NU: Tradisi Narasi dan Dakwah Kultural

NU sejak awal berdiri telah menggunakan narasi sebagai alat dakwah. Para ulama NU memadukan ajaran Islam dengan budaya lokal: gamelan, wayang, tembang Jawa, selametan, dan tahlilan. Semua ini bukan sekadar simbol budaya, tetapi media komunikasi nilai Islam yang mudah dipahami masyarakat.

Namun kini medium berubah. Narasi dan nilai NU harus masuk ke ranah digital, agar tetap hidup di hati generasi muda yang lebih banyak belajar dari TikTok, YouTube, dan Instagram daripada dari podium pengajian konvensional.

Islam Nusantara dan Branding Identitas

Pada Muktamar ke-33 NU tahun 2015, istilah “Islam Nusantara” dicanangkan sebagai pendekatan dakwah yang menekankan Islam yang santun, toleran, dan bersatu dengan kultur lokal.

Hal tersebut juga pernah diungkapkan Dr Zaki Mubarak, pengamat politik dan keagamaan, UIN Jakarta, bahwa, “Islam Nusantara adalah bentuk soft diplomacy NU. Ia menggabungkan narasi kultural dengan citra global. Ini adalah PR 5.0 dalam bentuk paling lokal sekaligus paling universal.”

Istilah ini memang menuai pro dan kontra. Sebagian kelompok menyambutnya sebagai “branding strategis NU” di tengah meningkatnya konservatisme dan radikalisme. Namun, pihak lain menganggapnya menyimpang dari Islam murni.

PR 5.0 dalam konteks ini berhasil bekerja, karena NU menyediakan narasi naratif dan visual yang menjelaskan makna Islam Nusantara (misal melalui dokumenter, artikel, dan infografik).

Dalam konteks ini, PR 5.0 NU juga perlu melibatkan tokoh berpengaruh seperti KH Mustofa Bisri dan KH Yahya Cholil Staquf untuk menjelaskan langsung ke publik. Termasuk, menggunakan forum internasional seperti R20, G20, dan lain-lain untuk mempromosikan narasi Islam damai khas Indonesia.

Digitalisasi Dakwah: Kanal NU Online dan TVNU

NU Online, dengan ratusan ribu pembaca per hari, menjadi kanal utama dakwah digital NU. Isinya bervariasi: artikel keislaman, tafsir, fatwa, hingga isu sosial. Sementara itu, TVNU di YouTube menyajikan dakwah visual, podcast, dan dokumenter tokoh NU.

Dalam kerangka PR 5.0, ini disebut content-based communication: membangun persepsi melalui konten rutin. NU menghindari konten reaktif dan tetap menyampaikan nilai dengan bahasa tenang.

Studi data (NU Online, 2023) menunjukkan bahwa konten paling banyak dibaca adalah fatwa sosial dan muamalah, kisah ulama, klarifikasi isu-isu sensitif seperti LGBT, jihad, dan syiah. Hal ini membuktikan bahwa NU sukses memadukan strategi PR dengan kepercayaan publik.

 

Santri sebagai Juru Bicara Baru NU?

Era PR 5.0 menuntut juru bicara yang multitalenta: paham agama, teknologi, dan komunikasi massa. Di sinilah santri generasi baru perlu mengambil peran. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh Alissa Wahid, koordinator Jaringan Gusdurian,  “Dunia ini sedang krisis narasi. NU punya harta karun narasi, tinggal bagaimana santri bisa mengemas dan menyebarkannya.”

Untuk itu, ada beberapa peran yang bisa dijalani santri dalam kerangka PR 5.0 NU, misalnya, menjadi kreator konten Islami di TikTok dan Instagram, menulis opini untuk media online mainstream, dan manajer komunitas digital di pesantren, majelis, dan organisasi NU.

Karena itu, berikut hal-hal yang direkomendasikan sebagai langkah strategis NU ke depan dalam kerangka PR 5.0. Pertama, pelatihan PR digital untuk santri dan LTN NU yang berfokus pada storytelling, crisis response, dan content creation.

Kedua, pemetaan persepsi publik dengan menggunakan big data untuk mengetahui persepsi anak muda tentang NU.

Ketiga, menyebarkan narasi proaktif, bukan reaktif. Dalam konteks ini, jangan hanya membantah hoaks, tapi mengendalikan wacana dengan narasi solutif dan empatik.

Keempat, investasi pada tokoh-tokoh digital NU muda dengan cara melakukan pembinaan kader NU yang menjadi influencer dengan akhlak dan wawasan kuat.

Dakwah Bernarasi, Bertenaga, dan Bermartabat

NU memiliki aset luar biasa: jaringan kiai, jutaan santri, budaya luhur, dan semangat cinta damai. Tapi tanpa komunikasi strategis, semua itu bisa tertinggal oleh organisasi yang lebih cepat dan terampil di media.

PR 5.0 bukan sekadar alat pencitraan, melainkan alat dakwah masa depan. Lewat narasi yang otentik, teknologi yang tepat, dan nilai-nilai Islam yang luhur, NU bisa terus menjadi garda terdepan dalam membangun peradaban yang damai dan bermartabat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan