NU dan Gerakan Post-Tradisionalisme

819 kali dibaca

Adaptasi ajaran agama Islam terhadap budaya hidup masyarakat menjadi hal penting yang harus dilakuakan. Apabila adaptasi ajaran agama Islam mampu diaplikasikan, maka visi Rasulullah dalam penyebaran agama Islam (baca: rahmatan lil alamin) dapat terwujud. Islam menginginkan aplikasi ajaran secara universal, agar wujud dari Islam itu sendiri dapat relevan sepanjang zaman (shalih li kuli zaman wa makan).

Post-tradisionalisme merupakan pokok ajaran Islam yang memuat sistem budaya yang diselaraskan dengan ajaran Islam. Dalam akar historisnya, Islam selalu menghormati tradisi yang memuat seluruh khazanah di masa lalu. Awal persebaran Islam tidak serta merta dilingkupi oleh peperangan dan pelarangan atas hal-hal yang menyimpang. Secara bertahap, Islam menyesuaikan tradisi-tradisi yang telah ada, kemudian disesuaikan dengan syariat.

Advertisements

Muhammad Abed al-Jabiri, sebagai tokoh utama post-tradisionalisme Islam, mengungkapkan jika gagasan post-tradisionalisme mempunyai titik tengah yang mampu menyelamatkan tradisi Islam sekaligus dinamika sejarah yang telah terbentuk sebelumnya. Konsep yang diusung oleh Muhammad Abed al-Jabiri adalah al-muhafadzah β€˜ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah, yang dapat diartikan sebagai penjagaan tradisi lama yang baik, seraya mengadaptasikan dengan tradisi baru yang lebih baik.

Konsep tersebut secara bertahap diterima oleh masyarakat, yang pada akhirnya membentuk kualitas dan kuantitas umat Islam seperti sekarang. Bayangkan, hanya dalam beberapa abad, Islam mampu mendongkrak dogma masyarakat dan berevolusi menjadi agama terbesar di dunia. Hal ini turut menjelaskan bagaimana kajian post-tradisionalisme sangat diterima di masyarakat.

Dalam kajiannya, Muhammad Abdul al-Jabiri menggunakan tiga dasar. (1) Strukturalis, yang memuat kajian sejarah berdasar pemahaman dari berbagai macam teks. (2) Menguji validitas metode strukturalis dengan validitas politik yang berlaku. (3) Penggunaan kritik ideologis untuk mengungkap ideologi yang mendasari sebuah teks terbentuk. Apabila tradisi yang dimaksud lolos dari ketiga dasar tersebut, barulah tradisi itu didialogkan dengan masyarakat agar dapat menyatu.

Kultur Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia paling gencar memakai post-tradisionalisme sebagai metode pengajarannya. Kontekstualisasi Nahdlatul Ulama yang menempatkan tradisi sebagai dasar dakwah, menjadikan kegembiraan tersendiri yang memuat kegembiraan saat memeluk agama Islam. Pada dasarnya, pengajaran post-tradisionalisme Nahdlatul Ulama mengacu pada pola dakwah yang telah dilakukan oleh Walisongo.

Cerita paling tersohor, kisah Sunan Kalijaga yang menebar kegembiraan serta mengajarkan syariat Islam melalui cerita wayang kulit. Ada Sunan Bonang yang menyebarkan agama Islam dengan memakai gamelan. Dan beberapa kisah sunan yang lain, yang menggunakan metode yang sama untuk menarik masyarakat dalam keindahan agama Islam.

Mereka mencirikan Islam sebagai agama yang indah. Sebagai agama yang membawa kegembiraan. Agama yang tidak kaku, dan mudah dilaksanakan. Sebab itulah, seseorang yang memeluk agama Islam, berarti dirinya telah merangkul kebahagiaan itu dalam dirinya. Maka tenanglah dia dengan membawa kebahagiaan itu.

Maka peran Nahdlatul Ulama juga demikian. Nahdlatul Ulama tidak serta merta menyingkirkan kesenangan-kesenangan yang telah mengakar dalam tradisi masyarakat. Misalnya budaya kumpul-kumpul pada prosesi kematian yang diiringi dengan budaya mabuk-mabukan dan judi, diganti dengan pembacaan doa. Kemudian sesaji yang dipersembahkan untuk roh, diganti dengan sistem syukuran, yang makanannya dibagi kepada tetangga sekitar. Adaptasi seperti inilah yang lebih disenangi karena membawa kemanfaatan besar bagi semua orang.

Dengan sistem seperti ini, masyarakat diajarkan untuk memahami inti dari syariat. Misalnya yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti spa yang menjadi tujuan dari syariat itu sendiri, bagaimana syariat itu hidup dalam diri manusia, dan bagaimana adaptasi syariat terhadap perkembangan zaman. Hal inilah yang nantinya menjadikan Islam sebagai agama yang dinamis.

Aplikasi Post-Tradisionalisme

Post-tradisionalisme dalam penyebaran agama Islam dapat dilihat dari gerakan tokoh ternama, yaitu KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur terkenal dengan pemikiran yang adaptif, sehingga gagasan yang dikeluarkan mudah diterima oleh masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus, pemikirannya disegani oleh umat non-Muslim. Sebagai contoh, pembolehan perayaan Imlek secara besar-besaran menjadi bukti adaptasi terhadap ajaran Islam yang dilakukan.

Bahkan dalam perkembangannya, beliau dikenal sebagai Bapak pluralis karena seringnya menghargai tradisi-tradisi yang telah mengakar di masyarakat, termasuk tradisi dari non-muslim itu sendiri. Pokok gagasan yang dikeluarkan oleh beliau, menjadikan Indonesia semakin kokoh dari sisi kerukunannya. Meningkatkan nasionalisme seluruh rakyat karena merasa semua hak-hak rakyat telah terpenuhi.

Maka ajaran post-tradisionalisme Islam seperti itu sangatlah penting dilakukan. Hal ini bukan hanya disasarkan untuk perkembangan Islam itu sendiri, melainkan penguatan nilai-nilai kebangsaan dan kerukunan bangsa. Oleh karena itu pengembangan post-tradisionalisme sebagai suatu ajaran, wajib dilakukan, dan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia memiliki kekuatan yang besar untuk mendongkrak konsep tersebut.

Multi-Page

One Reply to “NU dan Gerakan Post-Tradisionalisme”

Tinggalkan Balasan