Fenomena “No Buy Challenge” yang viral di media sosial beberapa waktu terakhir menjadi refleksi dari kegelisahan kolektif terhadap budaya konsumtif yang kian membabi buta. Tantangan ini mengajak individu untuk menahan diri dari belanja barang-barang non-esensial dalam jangka waktu tertentu. Di balik tren yang tampaknya sederhana ini, tersimpan berbagai implikasi moral, spiritual, bahkan ekonomi yang patut dikaji lebih dalam, terutama dari perspektif maqasid syariah.
Secara fundamental, gagasan di balik No Buy Challenge memiliki kemiripan dengan nilai-nilai luhur dalam ajaran Islam. Syariat mengajarkan prinsip hidup sederhana, menjauhi pemborosan (tabdzir), dan larangan berlebih-lebihan (israf).

Hal tersebut ditegaskan dalam firman Allah SWT: “يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ”
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah perhiasanmu di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Dalam kerangka ini, No Buy Challenge bisa dimaknai sebagai bentuk riyadhah nafs (latihan spiritual) untuk menahan diri dari kecenderungan konsumtif, sekaligus menumbuhkan sikap qana’ah (merasa cukup) dan zuhud.
Namun, penting dicatat bahwa zuhud dalam Islam bukan berarti menolak dunia, melainkan sikap batin yang tidak diperbudak oleh kenikmatan duniawi. Maka, ketika tantangan ini dijalankan dengan niat mendidik diri dan memperbaiki relasi kita dengan harta, ia sejalan dengan maqasid syariah, khususnya hifdz al-mal (perlindungan terhadap harta).
Namun demikian, praktik semacam ini tidak lepas dari sejumlah risiko yang memerlukan evaluasi kritis. Dalam tradisi fikih, segala amalan—termasuk bentuk asketisme sosial—harus dinilai dari sisi maslahat dan mafsadat. Jangan sampai semangat membatasi konsumsi justru tergelincir ke arah bukhl (kekikiran), yang secara eksplisit dikecam dalam Islam.
Zuhud dan bukhl berada dalam garis tipis yang mudah dilewati. Zuhud adalah kontrol diri terhadap cinta dunia, sementara bukhl adalah penahanan harta dari penggunaannya yang wajar dan semestinya. Ketika seseorang mampu memenuhi kebutuhan sekunder atau tersier namun sengaja menolaknya demi gengsi mengikuti tren No Buy Challenge, ini bisa jadi indikasi sikap kikir yang tersembunyi. Islam bukan mengajarkan kemiskinan gaya hidup, melainkan keseimbangan—tawazun—antara kebutuhan ruhani dan jasmani.
Lebih dari itu, dampak kolektif dari tantangan ini juga tak bisa diabaikan. Dalam perspektif ekonomi Islam, harta tidak boleh berputar hanya di kalangan tertentu saja, tapi harus mengalir dalam sistem sosial untuk menjaga keberlangsungan ekonomi. Apabila No Buy Challenge dilakukan secara masif dan ekstrem, khususnya di sektor konsumsi ritel, maka dampaknya bisa sangat nyata: permintaan pasar menurun, produksi terhambat, dan pelaku usaha kecil—terutama UMKM—berpotensi gulung tikar.
Padahal, UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional. Ketika konsumsi masyarakat melemah secara signifikan, bukan hanya produsen yang terdampak, tapi juga para pekerja, pedagang kecil, dan masyarakat akar rumput. Alih-alih menciptakan maslahat, tantangan ini malah berpotensi menimbulkan mafsadat ekonomi yang kontraproduktif dengan tujuan syariat itu sendiri: menjaga keberlangsungan hidup dan harta (hifdz al-mal) di tingkat sosial.
Masalah lain yang juga patut disoroti adalah ketidakjelasan batasan syar’i dalam tantangan ini. Apa yang dimaksud dengan barang “tidak esensial” sangatlah subjektif. Bagi satu orang, membeli buku adalah kebutuhan dasar, sementara bagi orang lain bisa dianggap sebagai kemewahan. Ketidakjelasan ini membuka celah pada wilayah syubhat, bahkan bisa menyeret seseorang pada kelalaian dalam memenuhi kebutuhan penting seperti pendidikan, kesehatan, atau pengembangan diri, hanya karena ingin tampil hemat di media sosial.
Akhirnya, No Buy Challenge memang bisa menjadi sarana yang baik untuk mengurangi budaya boros, namun perlu dijalankan dengan kesadaran syariat. Esensi ajaran Islam bukan pada ekstremisme sikap, tapi pada keseimbangan dan niat yang lurus. Kita tidak diminta menjadi konsumen pasif, melainkan konsumen yang bijak, sadar, dan bertanggung jawab.
Maka, mungkin sudah saatnya tantangan ini bergeser dari No Buy Challenge menjadi Conscious Consumption Challenge—yakni ajakan untuk membeli dengan kesadaran, bukan dengan impuls atau gaya hidup. Dengan begitu, kita tetap bisa meraih nilai spiritual, menjaga harta, dan di saat yang sama tidak memutus nadi ekonomi masyarakat. Karena sejatinya, Islam tidak mengajarkan pelarian dari dunia, melainkan pengelolaan dunia dengan penuh hikmah.