“No Buy Challenge” dari Perspektif Maqasid Syariah

Fenomena “No Buy Challenge” yang viral di media sosial beberapa waktu terakhir menjadi refleksi dari kegelisahan kolektif terhadap budaya konsumtif yang kian membabi buta. Tantangan ini mengajak individu untuk menahan diri dari belanja barang-barang non-esensial dalam jangka waktu tertentu. Di balik tren yang tampaknya sederhana ini, tersimpan berbagai implikasi moral, spiritual, bahkan ekonomi yang patut dikaji lebih dalam, terutama dari perspektif maqasid syariah.

Secara fundamental, gagasan di balik No Buy Challenge memiliki kemiripan dengan nilai-nilai luhur dalam ajaran Islam. Syariat mengajarkan prinsip hidup sederhana, menjauhi pemborosan (tabdzir), dan larangan berlebih-lebihan (israf).

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Hal tersebut ditegaskan dalam firman Allah SWT: “يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ”

Artinya: “Hai anak Adam, pakailah perhiasanmu di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

Dalam kerangka ini, No Buy Challenge bisa dimaknai sebagai bentuk riyadhah nafs (latihan spiritual) untuk menahan diri dari kecenderungan konsumtif, sekaligus menumbuhkan sikap qana’ah (merasa cukup) dan zuhud.

Namun, penting dicatat bahwa zuhud dalam Islam bukan berarti menolak dunia, melainkan sikap batin yang tidak diperbudak oleh kenikmatan duniawi. Maka, ketika tantangan ini dijalankan dengan niat mendidik diri dan memperbaiki relasi kita dengan harta, ia sejalan dengan maqasid syariah, khususnya hifdz al-mal (perlindungan terhadap harta).

Namun demikian, praktik semacam ini tidak lepas dari sejumlah risiko yang memerlukan evaluasi kritis. Dalam tradisi fikih, segala amalan—termasuk bentuk asketisme sosial—harus dinilai dari sisi maslahat dan mafsadat. Jangan sampai semangat membatasi konsumsi justru tergelincir ke arah bukhl (kekikiran), yang secara eksplisit dikecam dalam Islam.

Zuhud dan bukhl berada dalam garis tipis yang mudah dilewati. Zuhud adalah kontrol diri terhadap cinta dunia, sementara bukhl adalah penahanan harta dari penggunaannya yang wajar dan semestinya. Ketika seseorang mampu memenuhi kebutuhan sekunder atau tersier namun sengaja menolaknya demi gengsi mengikuti tren No Buy Challenge, ini bisa jadi indikasi sikap kikir yang tersembunyi. Islam bukan mengajarkan kemiskinan gaya hidup, melainkan keseimbangan—tawazun—antara kebutuhan ruhani dan jasmani.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan