Ngopi dan Revolusi Sunyi Kaum Santri

Di banyak sudut kampung, terutama di wilayah-wilayah yang menjadi basis Nahdlatul Ulama (NU), aroma kopi bukan sekadar tanda pagi yang baru dimulai atau malam yang belum berakhir.

Kopi di kalangan Nahdliyin bukan hanya minuman pengusir kantuk, melainkan medium sosial, simbol kebersamaan, dan ruang dialektika. Tradisi ngopi, khususnya di lingkaran pesantren dan komunitas NU, telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari proses belajar, berdiskusi, hingga merumuskan gagasan yang kadang bersifat revolusioner—meski disampaikan dalam kesunyian yang penuh hormat.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Antara Budaya dan Spiritualitas

Tradisi ngopi di kalangan NU memiliki akar yang kuat dalam budaya pesantren. Para kiai dan santri sering berkumpul selepas ngaji kitab kuning, duduk melingkar sambil menyesap kopi tubruk yang pekat.

Dalam suasana itu, percakapan bisa mengalir dari membahas tafsir ayat Al-Qur’an, kisah para ulama, hingga situasi politik nasional. Ngopi menjadi jeda yang menghubungkan dunia spiritual dan sosial, sekaligus ruang untuk menguji ide-ide baru.

Bagi kaum Nahdliyin, kopi kerap dipandang sebagai teman setia ilmu. Dalam kitab-kitab klasik, meski tidak secara eksplisit menyebut kopi, banyak kisah ulama yang berusaha menjaga stamina untuk belajar dan mengajar sepanjang malam. Di sinilah kopi hadir sebagai “penjaga mata”, membantu pikiran tetap terjaga untuk mengkaji turats. Budaya ini berkembang seiring dengan meluasnya jaringan warung kopi di sekitar pesantren dan desa-desa NU, yang menjadi pusat pertemuan informal.

Warung Kopi: Ruang Kelas Alternatif

Warung kopi di lingkungan Nahdliyin tidak selalu berbentuk kafe modern dengan sofa empuk. Sering kali, ia hanya berwujud bangunan sederhana, meja kayu panjang, dan kursi plastik yang sudah tak seragam. Namun, fungsinya melampaui bentuk fisiknya. Warung kopi menjadi “ruang kelas” alternatif, tempat di mana setiap orang—dari kiai sepuh hingga santri baru, dari petani hingga aktivis muda—memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara.

Di warung kopi inilah ide-ide penting sering lahir. Perbincangan bisa dimulai dari isu kecil, seperti rencana peringatan Maulid Nabi, hingga membahas strategi dakwah menghadapi tantangan digital.

Dalam sejarah NU, tidak sedikit inisiatif sosial dan gerakan masyarakat yang embrionya justru dimulai dari obrolan santai di meja kopi. Revolusi sunyi ini berlangsung tanpa gegap gempita, tetapi dampaknya terasa di akar rumput.

Dialektika dalam Cangkir Kopi

Dialektika adalah proses berpikir yang melibatkan pertukaran gagasan, argumen, dan kritik untuk menemukan pemahaman yang lebih mendalam. Dalam konteks Nahdliyin, dialektika ini sering terjadi secara alami di sela-sela ngopi. Topik pembahasan bisa mencakup fiqih dan tradisi serta, politik kebangsaan, ekonomi, hingga tantangan global.

Kopi menjadi “minyak pelumas” yang menjaga suasana tetap cair meski perdebatan berlangsung hangat. Ada kebebasan untuk mengemukakan pendapat tanpa takut dihakimi, karena nuansa persaudaraan lebih kuat daripada sekadar menang- kalah argumen.

Revolusi Sunyi

Disebut revolusi sunyi karena gerakan intelektual dan sosial di kalangan Nahdliyin sering tidak mencolok di permukaan. Ia tidak selalu tampil dalam bentuk demonstrasi besar atau kampanye masif. Sebaliknya, ia meresap melalui percakapan sehari-hari, pertemuan kecil, dan pengajian rutin. Namun, justru karena sifatnya yang organik, gerakan ini mampu bertahan lama dan mengakar kuat.

Contohnya dapat dilihat pada peran NU dalam merespons isu-isu kebangsaan. Banyak sikap resmi NU yang berangkat dari diskusi internal yang panjang, sering kali dimulai dari obrolan santai di warung kopi atau serambi masjid. Para penggerak komunitas, tokoh muda, hingga kiai kampung berkontribusi memberikan perspektif, sehingga keputusan yang diambil bersifat kolektif dan representatif.

Identitas dan Perlawanan Kultural

Ngopi bagi Nahdliyin bukan sekadar kegiatan santai, tetapi juga simbol perlawanan kultural terhadap homogenisasi gaya hidup modern. Di tengah gempuran budaya instan dan komersialisasi kafe modern, warung kopi tradisional NU mempertahankan nuansa kekeluargaan dan kesederhanaan. Di sinilah identitas komunitas terjaga: tidak ada hirarki yang kaku, tidak ada sekat kelas sosial, semua duduk setara.

Lebih dari itu, tradisi ngopi menjadi sarana mempertahankan kearifan lokal. Bahasa daerah, humor khas pesantren, hingga cerita-cerita sejarah lokal tetap hidup dalam percakapan yang ditemani kopi. Dalam kacamata antropologi budaya, ini adalah bentuk “arsip hidup” yang terus diperbarui setiap kali orang berkumpul.

Tantangan dan Peluang di Era Digital

Memasuki abad ke-21, budaya ngopi di kalangan NU menghadapi tantangan baru. Generasi muda semakin akrab dengan ruang diskusi virtual di media sosial, yang sifatnya cepat, instan, dan sering kali dangkal. Risiko terbesarnya adalah hilangnya kedalaman diskusi dan ikatan emosional yang biasanya terbentuk dalam pertemuan tatap muka.

Namun, tantangan ini juga membuka peluang. Warung kopi tradisional bisa bertransformasi menjadi “co-working space” komunitas, di mana diskusi tatap muka tetap berlangsung, tetapi didukung oleh akses teknologi. Materi ngaji dan hasil diskusi bisa didokumentasikan dan disebarkan secara digital, sehingga jangkauannya meluas tanpa kehilangan kedalaman. Dengan begitu, kopi tetap menjadi medium perekat komunitas, sementara teknologi menjadi sarana perluasan pengaruh.

Dari Meja Kopi untuk Negeri

Budaya ngopi di kalangan Nahdliyin adalah contoh nyata bagaimana tradisi sederhana bisa menjadi motor penggerak pemikiran dan gerakan sosial. Ia menyatukan dimensi spiritual, intelektual, dan kultural dalam satu ruang yang inklusif. Dari cangkir kopi, lahir percakapan yang mengubah cara pandang; dari obrolan santai, lahir gagasan yang menggerakkan masyarakat.

Revolusi sunyi ini, meski jarang disorot media, justru menjadi kekuatan utama NU dalam menjaga keberlanjutan gerakan dan relevansinya di tengah perubahan zaman. Sebab pada akhirnya, kopi, ngaji, dan dialektika bukan hanya soal berbagi waktu, tetapi juga berbagi komitmen untuk membangun masa depan yang lebih bermakna—dari meja kopi, untuk negeri.

Multi-Page

One Reply to “Ngopi dan Revolusi Sunyi Kaum Santri”

Tinggalkan Balasan