Ngaji

1,622 kali dibaca

Tadi malam ia terlambat menghadiri sebuah pengajian rutin di surau yang diampu oleh Pak Kiai dari kecamatan seberang. Malam itu dijelaskan bahwa manusia yang menempuh jalan menuju Tuhan terbagi menjadi dua macam: mereka yang dikehendaki dan mereka yang menghendaki. Maksudnya, mereka yang dikehendaki adalah mereka yang secara Iradatillah diperjalankan langsung oleh Allah, sepenuhnya terkurung dalam penjara rahmat-Nya. Sementara mereka yang menghendaki adalah mereka yang sungguh-sungguh mendarmakan setiap detik usia untuk selalu berjalan di jalan yang disukai oleh Allah.

Dari pernyataan itu, ia–mencoba mengoreksi dirinya, jauh untuk masuk jalur dikehendaki, kalaupun toh masuk tak lain hanya tersebab maha kasih Tuhan. Atau jika dikatakan masuk jalur menghendaki, ia, rasa-rasanya belum mampu sungguh-sungguh memempa diri untuk menghendaki, menapaki terjalnya makadam jalan seorang salik yang sebenar-benarnya. Ah, setidaknya ia tak sampai jatuh di jurang keputusasaan, sepertinya sudah cukup baik, harapnya.

Advertisements

Dalam pengamatannya–terlepas dari idiom sufistik dikehendaki atau menghendaki, selama ia ngaji, cukup sering ia dengarkan bahwa jalan menuju (ber)Tuhan memang sangatlah bermacam. Malah Ada yang mengatakan bahwa jika dijumlah sebanyak jumlah napas manusia. Mutlak ragam dan meruah. Demikianlah, cara bersalik dari para muqoddimin melahirkan cabang-cabang yang melimpah, memudahkan para murid yang haus akan kesegaran ruhaniah memilih jalan yang ia mampu. Ya, dengan me-Ngaji memang akan tersingkap betapa banyaknya jalan, yang semuanya itu menuju muara yang tunggal. Catat, dengan me-Ngaji atau sinau atau belajar.

Tapi panggah sayang, meskipun tak harus beribu sayang. Bukannya keluasan khazanah yang dicari dan didapat, bukannya kelapangan hati yang diupayakan dan dirasakan, kita seringkali hanya terbiasa–atau mungkin membiasakan–mendengarkan saja, hanya mendengarkan ngaji, masuk ke telinga satu keluar di telinga satunya. Tak jarang kita malah asyik bermain, bergurau, tertidur, dan tidak sungguh-sungguh serius menghayati aktivitas Ngaji. Begitulah kita. Sehingga semangat yang diharapkan oleh isi ngaji seringkali berbanding terbalik dengan sikap kita di kehidupan.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan