“New Normal” di Pesantren, Siapkah?

3,053 kali dibaca

Pemerintah sedang bersiap untuk menerapkan kebijakan “New Normal” karena kapan pandemi Covid-19 akan berakhir tak bisa diprediksi. Sementara itu, masyarakat tak bisa terus menerus “dikurung” terlalu lama melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karena itu, “New Normal” menjadi solusi: masyarakat tetap boleh beraktivitas, tapi harus mengikuti protokol Covid-19 dengan ketat.

Lalu, bagaimana dengan pesantren? Bisakah “New Normal” diterapkan di lingkungan pondok pesantren?

Advertisements

Seperti halnya pendidikan umum, pendidikan di pondok pesantren juga telah diliburkan sejak virus Corona mewabah di negeri ini. Namun, harus diingat, karakteristik pendidikan di pondok pesantren memang berbeda dengan di sekolah-sekolah umum. Jika di sekolah-sekolah umum jam belajarnya dibatasi, katakanlah 6-7 jam dalam sehari, santri harus berada dan belajar di pondok pesantren selama 24 jam sehari.

Jika fokus pendidikan di sekolah-sekolah umum adalah aspek kognisi dan juga motorik, di pondok pesantren jauh lebih kompleks. Sebab, selain tempat menimba ilmu, pondok pesantren juga merupakan lembaga pembentukan karakter (adab), pelatihan spiritual (riyadhoh), pembelajaran hidup. Karena itulah, santri dituntut berada di pondok pesantren selama 24 jam penuh.

Dengan demikian, jika di sekolah-sekolah umum proses belajar mengajar tatap muka bisa diganti dengan virtual (online), proses yang sama tak bisa diterapkan di lingkungan pondok pesantren, apalagi kalau dalam jangka waktu yang lama. Belajar mengajar secara online akan kehilangan ruh pendidikan kepesantrenan.

Karena itu, diinisiaasi oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), para pemimpin pondok pesantren menggelar pertemuan secara online pada Rabu (27/5/2020). Rapat online untuk menyikapi rencana pemerintah menerapkan kebijakan “New Normal” ini diikuti perwakilan dari beberapa pondok pesantren besar, di antaranya Pondok Tambak Beras, Ploso, Lirboyo, dan Buntet Cirebon. Terlibat juga dalam rapat ini adalah Ketua Rabhithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) atau Asosiasi Pesantren Seluruh Indonesia Abdul Ghaffar Rozin.

Dalam rapat tersebut, sebenarnya kalangan pondok pesantren sudah berniat untuk memulai aktivitas pendidikan pada bulan Syawal atau pasca-Lebaran, yang kebetulan biasanya menjadi tahun ajaran baru di pesantren. Namun, karena kondisi belum kondusif dan protokol kesehatan di lingkungan pesantren belum memadai, rencana itu diurungkan. Jika dipaksanakan, dikhawatirkan pondok pesantren justru akan menjadi kluster baru penyebaran Covid-19.

Karena itu, dalam rapat tersebut para pemimpin pondok meminta kepada pemerintah harus juga memikirkan keberlangsung pendidikan di pesantren. Saat ini, di seluruh Indonesia ada 28 ribu pondok pesantren di bawah RMI NU dengan jumlah santri mencapai 18 juta orang dan jumlah guru/ustadz 1,5 juta orang. Pendidikan di pondok pesantren tak bisa dibiarkan terlalu lama mati suri. Jika dibiarkan mati suri dalam waktu lama, tak hanya merugikan bagi kalangan pesantren, tapi justru membahayakan bagi negara.

Atas dasar itulah, dalam penerapan kebijakan “New Normal”, pemerintah diminta juga mengikutkan pondok pesantren. Misalnya, pendidikan di pondok pesantren dimulai lagi dengan syarat pemerintah menyiapkan sarana dan prasarana untuk “New Normal” sesuai dengan standar protokol Covid-19. Di antaranya, disiapkan Pusat Kesehatan Pesantren (Puskestren) beserta tenaga dan alat medis, MCK standar protokol Covid -19, wastafel portabel, penyemprotan disinfektan, alat pelindung diri (APD), alat rapid test, hand sanitizer, dan masker. Juga ada kebutuhan untuk penambahan lokal, ruang karantina, isolasi mandiri, ruang asrama, dan ruang kelas.

Sebab, pada kenyataannya, kondisi lingkungan pondok pesantren memang masih jauh dari memadai untuk memenuhi syarat protokol kesehatan. Misalnya, MCK atau tempat berwudlu biasanya terbuka dan digunakan bersama-sama. Dapat dan tempat makan juga begitu. Bahkan, satu kamar biasanya dihuni dan untuk tidur bersama-sama oleh banyak santri. “Kondisi ini yang harus juga dipikirkan oleh pemerintah,” kata Muhaimin Iskandar.

“Kami menilai pengalokasian anggaran khusus untuk pemulihan kegiatan belajar mengajar di pesantren layak dilakukan karena bagaimanapun juga kita tidak ingin pendidikan di pesantren menjadi terhenti karena wabah Corona,” lanjutnya.

Kementerian Agama, pada Rabu (27/5/2020) memang telah megeluarkan protokol santri untuk kembali ke pondok pesantren di situasi “New Normal”. Protokol ini terbagi dua, yaitu ketika santri melakukan persiapan dari rumah dan tiba di pesantren. Namun, protokol yang diterbitkan Kemenag tersebut tidak menyangkut soal sarana dan prasarana, karena sebatas bagaimana seharusnya santri mempersiapkan diri agar tak tertular viris Corona.

Sementara itu, Pengurus Pusat RMI NU juga telah mengeluarkan 11 rekomendasi standar operasional prosedur (SOP) untuk dijalankan santri dan pengasuh pondok pesantren Nahdlatul Ulama. Rekomendasi itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor 846/A/PPRMI/SE/V/2020 tertanggal 22 Mei 2020 M/29 Ramadhan 1441 H tentang Protokol Perpajangan Masa Belajar (Ta’lim) Santri di Rumah Setelah Lebaran 1451H di Masa Pandemi Covid-19.

Dalam surat edaran tersebut Ketua PP RMI NU Abdul Ghofarrozin, mengatakan, dengan mempertimbangkan kondisi terakhir terkait dengan pandemi Covid-19 yang masih menunjukkan tingginya penyebaran, penularan dan jumlah korban, maka RMI-NU merekomendasikan kepada pondok pesantren untuk memperpanjang masa belajar (taklim) santri di rumah.

“Rekomendasi ini dikeluarkan untuk mencegah penyebaran dan penularan Covid-19 di lingkungan pesantren, serta melindungi para kiai/pengasuh dan ustadz/ustadzah dari covid-19,” katanya.

Namun, bagi pondok pesantren yang tidak mungkin memperpanjang masa belajar santri di rumah, RMI merekomendasikan agar lingkungan pondok pesantren tersebut harus memenuhi protokol Covid-19, yang tak mungkin dipenuhi sendiri oleh pihak pondok tanpa pemerintah turun tangan.

Jadi, untuk memulai “New Normal” di lingkungan pondok pesantren memang akan tergantung pada kesiapan semua pihak, termasuk kesiapan dari pemerintah. Jangan grusa-grusu menerapkan “New Normal” dan memulai proses belajar mengajar di pesantren jika tak ingin menjadi kluster baru penyebaran Corona.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan