Dalam penghayatan dan pengamalan keagamaan, tradisi Islam mengenalkan dua konsep yang sangat dominan bagi pemeluknya, yakni konsep esoteris (bathini) dan konsep eksoteris (lahiri).
Seperti yang dikemukakan oleh Al-Rindi, seorang ahli kesufian yang juga seorang komentator kitab al-Hikam, bahwa dalam praktik peribadatan, kaum muslimin terbagi menjadi dua kelompok, satu kelompok menitikberatkan kepada aspek-aspek lahiriyah (ahkam az-zawahir) dan satu kelompok lagi menitikberatkan kepada aspek-aspek bathiniyah (ahkam ad-dlhamair).

Pada perkembangannya, kedua kelompok ini hampir-hampir tak menemukan jalan damai. Sejarah peradaban Islam telah mencatat bagaimana perbedaan orientasi kedua kelompok ini menimbulkan dinamika dan polemik yang cukup pelik. Keduanya saling menuduh satu sama lainnya sebagai penyeleweng agama yang sesat dan tidak sempurna penghayatan keagamaannya.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa keduanya tak bisa berjalan beriringan yang menyalahi prinsip ekuilibrium (tawazun) dalam ajaran Islam.
Tidak hanya dalam khazanah Islam klasik, sarjana Islam kontemporer seperti Hasan Hanafi pun turut memberikan komentar pedas terhadap model keagamaan sufisme sebagai penyebab dari kemandekan Islam.
Al-Ghazali, meski bukan satu-satunya, adalah seorang tokoh yang paling berhasil dalam upayanya untuk memediasi dan merekonsiliasi kontradiksi antara dua corak penghayatan keagamaan ini. Dengan buah pemikirannya yang brilian, sebagaimana yang dituliskan dalam Ihya’ Ulumiddin, Al-Ghazali menunjukkan bahwa baik model keagamaan lahiriyah maupun bathiniyah memiliki relasionalitas dan saling menunjang.
Profesor Hamka dengan karyanya, Tasawuf Modern, sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar tasawuf baru di Indonesia. Ia tetap menghormati aspek esoterik, namun sekaligus memberikan peringatan bahwa esoterisisme itu harus terkendalikan oleh syariat.
Hamka dalam hal ini hampir serupa dengan pemikiran Al-Ghazali. Perbedaannya adalah bahwa Hamka menghendaki penghayatan esoterik yang mendalam tetapi tidak dengan menempuh jalan uzlah (meditasi) yang membatasi seseorang dari gerak aktif dalam dunia sosial.
Pemikiran Hamka ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran sarjana pembaru klasik seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Sehingga bukan menjadi kebetulan bila Fazlurahman menyebut kedua tokoh ini sebagai perintis neosufisme.
Istilah neosufisme dianggap lebih tepat dan lebih netral daripada menggunakan istilah tasawuf modern. Cak Nur, sapaan akrab Nurcholish Madjid, memberikan alasan bahwa istilah kedua terasa lebih optimistik, karena kata modern acapkali berkonotasi positif dan optimis. Tapi keduanya menunjukkan kepada kenyataan yang sama, yaitu jenis kesufian yang terkait erat dengan koridor syariat.
Merujuk pada istilah tersebut, Ibnu Taimiyah membahasakannya dengan jenis kesufian yang merupakan kelanjutan dari ajaran Islam itu sendiri yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kemudian ditambah dengan ketentuan untuk tetap menjaga keterlibatan dalam masyarakat secara aktif.
Konsep neosufisme juga mengakui kebenaran klaim sufisme intelektual; bahwa mereka menerima kasyf (pengalaman penyingkapan kebenaran ilahi) atau ilham intuitif. Tetapi mereka menolak klaim seolah-olah mereka tidak dapat salah, dengan menekankan bahwa kepiawaian kasyf adalah sebanding dengan kebersihan moral hati (tazkiyatun nafs) yang memiliki tingkat-tingkat yang tak terhingga.
Ciri utama konsep neosufisme sebagaimana yang dijelaskan oleh Fazlurahman adalah berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode zikir atau konsentrasi keruhanian guna mendekat kepada Allah. Laku ini bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada akidah yang benar dan kemurnian moral dan jiwa.
Neosufisme ini tidak hendak memisahkan diri seorang dengan dunia sebagai tempat hidupnya, tetapi menekankan perlunya keterlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat. Sehingga, dalam neosufisme, zuhud atau asketisme sangat kontras dengan pemikiran sufisme klasik.
Dalam pemikiran sufisme klasik, seperti yang termaktub dalam Jam’ul Jawami’ al-Mushannafat, asketisme diartikan dengan menutup akses duniawi, termasuk dalam interaksinya dengan masyarakat. Dengan harapan bila seseorang mencela dunia, Allah akan mengasihinya.
Sementara, neosufisme yang mengusung spiritualisme sosial yang diungkapkan oleh Dr Said Ramadhan Al-Buthi dalam risalah kecil yang berjudul al-Ruhaniyahal-Ijtimaiyah. Ia mengkritik dengan ungkapan yang sangat keras terhadap hidup spiritualisme pasif dan isolatif; bahwa yang demikian tergolong spiritualisme orang-orang yang lemah dan egois.
Bukan tanpa alasan, penganut spiritualisme ini alih-alih memberikan manfaat kepada sekitarnya, ia lebih memilih uzlah (meditasi) dan mencari kebahagiaan untuk diri sendiri. Meski ada unsur kebaikan mediumnya, namun tetap menyisakan kelemahan dan egoismenya.
Pendapat tersebut serupa dengan apa yang disampaikan oleh Sa’di al-Syairazi:
أن العارف أو الصوفي هوالذي يخدم الناس لا الذي يختار العزلة والاعتكاف، ويطلب من كل الناس حتى الحكام أن يتخلـقوا بأخلاق الدراويش
Artinya: “Sesungguhnya seorang bijak bestari atau sufi adalah mereka yang menjadi pelayan manusia, bukan mereka yang memilih uzlah atau iktikaf. Dan mengajak manusia hingga ahli hikmah berakhlak seperti akhlak darwish.”
Berkenaan dengan rujukan dari neosufisme ini, Rasulullah SAW mengajarkan agar umat Islam tidak terlalu berlebihan dalam beribadah. Sebab yang demikian akan membuat manusia lalai dari hak dirinya dan hak lingkungannya.
Dikisahkan bahwa Rasulullah SAW suatu hari mengunjungi Abdullah bin Amr bin Ash, dan istrinya meminta belas kasihan kepada nabi. Maka nabi SAW bersabda: “Bagaimana keadaanmu, wahai istri Abdullah?” Dijawabnya: “Dia itu (Abdullah bin Amr bin Ash) menyendiri, sehingga ia tidak tidur, berpuasa, tidak mau makan daging dan tidak menunaikan kewajibannya kepada keluarganya”. Beliau bertanya: “Di mana dia sekarang?” Dijawab: “Dia sedang keluar dan sudah hampir pulang saat ini”. Beliau bersabda: “Kalau dia pulang, tahan dia untukku”. Maka beliau katakan, “Wahai Abdullah ibn Amr, bagaimana itu berita yang sampai kepadaku mengenai dirimu? Engkau tidak tidur!” Dijawabnya, “Dengan itu aku ingin aman dari marabahaya yang besar.” Sabda beliau, “Dan sampai kepadaku (berita) bahwa engkau tidak berbuka (puasa)!” Dijawabnya, “Dengan itu aku menginginkan sesuatu yang lebih baik di surga.” Beliau bersabda, “Dan sampai (berita) kepadaku bahwa engkau tidak menunaikan untuk keluargamu hak-hak mereka!” Dijawabnya, “Dengan itu aku menginginkan wanita yang lebih baik daripada mereka.” Maka Rasulullah saw. pun bersabda, “Wahai Abdullah ibn Amr, bagimu ada teladan yang baik pada Rasulullah. Dan Rasulullah itu berpuasa dan berbuka, makan daging, dan menunaikan untuk keluarganya hak-hak mereka.Wahai Abdullah ibn Amr, sesungguhnya Allah mempunyai hak atas engkau, sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas engkau, dan sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atas engkau!”
Kebijaksanaan Rasulullah SAW tersebut hendak mengajarkan bahwa ada prinsip keseimbangan (tawazun) yang harus diperhatikan oleh manusia baik untuk dirinya, keluarganya, maupun lingkungannya dan bahkan dalam hal ibadah sekalipun. Prinsip keseimbangan ini penting sebagaimana yang diungkapkan oleh Said Ramadhan al-Buthi, sesuai dengan prinsip yang difirmankan oleh Allah “Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, serta diletakkan oleh-Nya (prinsip keseimbangan). Agar janganlah kamu melanggar prinsip keseimbangan itu,” (QS 55:7-8).
Hukum Allah ini memberikan kesimpulan bahwa prinsip keseimbangan berlaku untuk seluruh jagad raya, sehingga melanggarnya merupakan suatu dosa kosmis. Manusia yang disebut sebagai jagad kecil atau mikrokosmos pun tidak terhindar dari aturan prinsip ini.
Oleh karenanya, membangun nalar spiritualisme sosial dewasa ini sangat diperlukan. Manusia yang mendalami kedalaman kesufian dituntut untuk, meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla, menjadi manusia ruhani, antonim dari manusia kamar.
Ulil Abshar Abdalla dalam bukunya Menjadi Manusia Rohani memberikan definisi tasawuf sebagai upaya pemberadaban bangsa, karena manusia punya kedalaman rohani. Dengan demikian, menjadi sufi tidak lantas menjadikan manusia mandek intelektualitasnya dan kontribusinya kepada sekitarnya.
Sumber ilustrasi: nursyam centre.