KAU BILANG DEMI RAKYAT
Kau bilang: ini semua demi rakyat.
Tapi rakyat yang mana? Yang duduk di meja rapat?
Atau yang berdiri di tepi laut,
menatap batu karang yang digerus kapal besar?

Aku ingin kau datang ke Raja Ampat.
Tak usah bawa rombongan. Cukup hatimu.
Lihat anak-anak kehilangan pantai tempat berenang.
Ibu-ibu kehilangan laut tempat berharap.
“Ini investasi,” katamu.
Tapi kau tak tahu,
kami kehilangan tempat pulang,
dan itu tak bisa dibayar dengan janji atau angka.
Kau tak perlu jawab.
Cukup dengar suara laut malam ini.
Ia berisik karena marah.
Atau mungkin hanya menirukan suara rakyatmu
yang sudah terlalu lama diam.
Kediri, 17 Juni 2025.
APA YANG KAUSIMPAN DI SAKU JASMU
Coba, katakan padaku:
apa yang kau sembunyikan di balik senyummu yang bersih?
Kontrak tambang? Cek kosong?
Atau nama perusahaan milik adik iparmu?
Kau berdiri di podium, bicara soal pembangunan.
Tapi jalan di desa kami masih berlumpur.
Anak-anak berjalan kaki ke sekolah,
melewati sisa lubang galian yang kau sebut “kemajuan.”
Lucu, ya.
Emasnya diambil,
tapi warga di sana masih beli beras pakai utang.
Coba sesekali,
lepas jas, copot dasimu.
Jalanlah di kampung yang tanahnya kau jual diam-diam.
Dengarkanlah mereka
Kediri, 17 Juni 2025.
KAMI TAK BUTUH JANJI
Jangan datang ke sini hanya untuk potong pita.
Kami muak pada kata “resmikan” yang tak menyentuh hidup kami.
Air kami keruh, tanah kami terbelah,
sementara kau tersenyum dalam berita pagi.
Kau bilang tambang ini menyerap tenaga kerja.
Mana?
Yang kau serap hanya sabar kami,
yang kau gaji hanya rasa takut kami.
Kami tak butuh janji manis dari bibir yang tak pernah singgah.
Kami butuh hak.
Butuh tanah yang tak dirampas.
Butuh laut yang tak dikeringkan oleh laporan laba.
Coba lihat kami,
walau sebentar.
Apa kau tak malu?
Kami yang bertahan hidup dari debu,
sementara kau berenang di angka-angka.
Kediri, 17 Juni 2025.
BUKU HITAMMU TAK PERNAH KOSONG
Kau bilang hukum ditegakkan.
Tapi kenapa yang melanggar malah kau angkat jadi komisaris?
Kami tahu buku hitammu tak pernah kosong.
Ada nama-nama. Ada rekening.
Ada tanah rakyat yang kau tandatangani untuk dikuasai.
Kau pura-pura lupa,
bahwa setiap hutan yang kau tebang
ada napas yang ikut lenyap.
Kami tak ingin jadi angka dalam laporan CSR.
Kami ingin hidup yang layak,
bukan dikirimi mie instan saat banjir datang.
Kau tak perlu bicara panjang.
Diam saja sudah cukup menyakitkan.
Tapi jika kau masih mau bicara,
setidaknya bicaralah pada hati nuranimu,
jika masih ada.
Kediri, 17 Juni 2025.
NEGARA PUNYA SIAPA
Negara ini, milik siapa?
Kalau rakyat hanya ditaruh di halaman belakang,
sementara pesta di ruang utama
hanya dihadiri mereka yang berkantung tebal.
Kau ajari kami sabar.
Padahal yang sabar itu tak pernah kau beri tempat.
Kau ajari kami kerja keras.
Tapi hasilnya kau kirim ke luar negeri.
Dulu, laut kami biru.
Sekarang ia keruh,
karena setiap kontrak yang kau tandatangani
berubah jadi luka yang kami tanggung.
Negara ini seharusnya rumah.
Tapi kau ubah jadi kantor dagang.
Rakyat bukan lagi anak-anaknya,
melainkan buruh murah yang tak boleh banyak bertanya.
Kalau begitu,
tak usah bilang ini semua demi kami.
Karena kami tak pernah diajak bicara,
hanya disuruh diam.
Kediri, 17 Juni 2025.
Sumber ilustrasi: http://mail.timah.ubb.ac.id