Nasib Santri Kikir

2,677 kali dibaca

Ada banyak kisah yang lahir dari bilik-bilik pondok. Kisah ini dapat dijadikan pelajaran (ibrah), cerminan kehidupan agar kita dapat mengambil hikmah dari kisah ini. Dari balik bilik pondok seringkali ada kisah yang sulit untuk diabaikan begitu saja. Terkadang karena memang kisah yang mengharukan, menggelikan, atau bahkan kisah yang mendebarkan. Dari kisah-kisah ini kita dapat bernostalgia dengan kondisi pondok di masa lampau.

Kisah kali ini juga bisa dijadikan pelajaran. Sebut saja namanya Marzuki (bukan nama sebenarnya). Ia mondok di Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Sebagai santri seharusnya kita saling memberi. Ketika kita punya jajan (gu’ganggu’) mestinya kita berbagi. Dengan demikian akan terjalin rasa kebersamaan dan persaudaraan. Saling membantu seharusnya menjadi karakter dan kepribadian santri.

Advertisements

Tidak dengan Marzuki. Ia terkenal sebagai santri yang pelit, kikir, lokek, meddit, kedekut (Madura, celkong), dan entah apa lagi sebutannya. Setiap kali ia punya jajan (gu’ganggu’, kiriman dari rumah) tidak pernah dibagi untuk teman-teman sekitar pondoknya. Ketika Marzuki mau makan, tidak pernah sekalipun untuk menawarkan kepada kawan sesame santri. Hal itu telah dimafhum, diketahui oleh banyak santri, termasuk juga para santri senior.

Kemudian, beberapa santri bersepakat, jika suatu saat Marzuki menawarkan makan bareng, mereka akan menyerbu menu makanan Marzuki tersebut. Hal ini mereka lakukan untuk memberikan pelajaran kepadanya agar sebagai manusia, khususnya santri, jangan sampai memiliki sifat kikir (cerre’, Madura).

Dan benar saja. Pada suatu ketika, setelah Marzuki memasak dan mau makan, entah disengaja atau kebetulan belaka, ia menawarkan untuk makan bersama. Padahal tidak biasanya ia lakukan itu. Biasanya ia langaung makan dan tidak peduli dengan teman-teman di sekitarnya. Berbeda dengan saat itu.

“Teman-teman, mari makan semuanya,” demikian ia menawarkan pada saat itu.

Tanpa ba-bi-bu lagi, sebagaimana yang telah dirancang, sekian banyak santri menyerbu masakan Marzuki. Semula Marzuki mengira itu hanya gurauan. Akan tetapi, kenyataannya, makanan yang hanya cukup untuknya dan sekali makan berikutnya, dalam sekejap ludes dan habis. Hal itu tentu saja membuatnya menderita. Perasaannya begitu entah. Sangat tidak menentu dan tidak tahu perasaan apa lagi. Sesenggukan ia menangis melihat kenyataan tersebut.

Melihat Marzuki menangis karena makanannya habis dimakan bersama, beberapa santri senior mendatanginya. Kemudian memberikan nasihat bahwa sebagai santri tidak boleh bersikap kikir dan pelit. Jika punya jajan (gu’ganggu’) sebagian harus diberikan kepada teman. Karena kita hidup dalam kebersamaan, sewaktu-waktu pasti akan memerlukan pertolongan orang lain.

“Sebagai santri harus mau berbagi. Menawarkan makanan kepada lainnya adalah sikap yang baik. Para santri memahami keadaan masing-masing, tidak mungkin akan ikut makan jika tidak karena ada sebab,” begitu Marzuki diberi nasihat oleh santri senior.

Akhirnya Marzuki menyadari sikap dan sifatnya selama ini yang termasuk pelit. Sejak saat itu ia berjanji untuk berbagi dengan teman lainnya.

***

Berbeda dengan kisah lainnya. Kisah ini terjadi di Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur. Teman saya, sebut saja namanya AZ, pelaku sekaligus sohibul hikayat. Teman sepondoknya, sebut saja namanya ZN, termasuk santri yang pelit alias kikir.

Pada suatu saat ZN mendapat kiriman mi instan sekian banyaknya. Karena ZN termasuk santri yang meddit, mi yang sekian banyak itu tidak dibagi dengan teman sekamar. Teman saya AZ melihat kenyataan itu, muncul pikiran naifnya. Tanpa sepengetahuan ZN tentunya, AZ mengambil alat suntik dan menyuntikkan minyak tanah ke dalam bungkusan mi instan milik ZN.

Sudah dapat ditebak apa yang terjadi. Akhirnya ZN membuang seluruh mi yang ada karena terasa dan berbau minyak tanah. Entah bagaimana selanjutnya, apakah ZN menyadari sikap pelitnya kemudian insaf. Atau tetap dengan sikap kikir tersebut karena sudah menjadi karakternya. Entahlah!

Jadi sudah sewajarnya bahwa sebagai seorang santri yang hidup di lingkungan pesantren dengan kondisi sederhana, kita harus saling berbagi. Ketika kita punya jajan atau makanan lainnya yang cukup untuk dibagi, maka berbagi adalah sikap yang sangat baik. Karena, sebagai manusia harus saling memiliki sikap empati. Sebab, kita tidak akan hidup tanpa bantuan orang lain. Kikir atau pelit adalah sikap buruk dan harus dihindari. Wallahu A’lam!

Multi-Page

One Reply to “Nasib Santri Kikir”

Tinggalkan Balasan