Mubadalah dan Teladan Nabi dalam Relasi Keberagaman

651 kali dibaca

Istilah mubadalah lebih sering diartikan sebagai relasi dalam konteks antara laki-laki dan perempuan. Jika kita mencari arti kata “mubadalah” dalam platform Google, misalnya, maka yang muncul adalah relasi antara laki-laki dan perempuan seperti yang merujuk dalam buku fikih mubadalah.

Namun, sesungguhnya, pengertian mubadalah adalah sebuah relasi dengan menerapkan konsep kesalingan, bermartabat, serta adil. Hal ini bukan hanya merujuk pada relasi antara laki dan perempuan, samun juga sesama manusia dengan latar belakang yang berbeda.

Advertisements

Buku yang ditulis oleh Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, yang berdulul Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama, ini mengkonfirmasi bahwa prinsip mubadalah tidak hanya diterapkan dalam relasi gender antara laki-laki dan perempuan. Namun, dapat diaplikasikan pada hubungan antara umat beragama, bernegara, berbangsa, bahkan dapat diterapkan dalam relasi ekologi antara manusia dan alam. Ini sesuai dengan prinsip utama dalam relasi yang bermartabat, adil, dan maslahah.

Bermartabat dalam relasi memiliki makna memandang kemulian dan petingnya berelasi antara dua belah pihak. Adil memiliki makna sesuai dengan kepasitas dalam berelasi. Sedangkan, maslahah adalah hasil dari penerapan keduanya, sehingga kedua belah pihak memperoleh kebaikan dalam melakukan relasi.

Buku Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama ini memiliki tiga pokok pembahasan. Bagian awal buku ini membahas relasi yang mubadalah yang terinpirasi Sirah Nabawi SAW, bagian kedua terinspirasi suri teladan Nabi SAW, dan bagian ketiga terinspirasi dari maqashid Qur’ani.

Pada bagian awal, Kiai Faqih menceritakan kisah-kisah Nabi SAW pada saat remaja hingga melakukan Haji Wada’. Kiai Faqih menceritika kehidupan Nabi SAW yang berdampingan dengan orang-orang berbeda agama. Salah satu kisah yang diceritakan Kiai Faqih dalam buku ini adalah kisah orang-orang yang Yahudi yang turut membela Nabi dalam perang Uhud. Pada saat itu, orang-orang Yahudi turut membantu menghadapi musuh, karena pada saat itu terdapat konstitusi Madinah yang mengharuskan orang muslim dan orang Yahudi membayar biaya. Sehingga orang-orang Yahudi turut membantu memberikan saran dan nasihat dalam hal kebaikan, bukan dalam hal keburukan (dosa).

Pada bagian kedua, Kiai Faqih mengutip cerita-cerita Nabi SAW pada saat menghadapi orang-orang yang berbeda agama, menceritakan adab dan hal-hal apa saja dapat ditiru dalam menghadapi orang-orang berbeda agama.

Pada bagian kedua ini, Kiai Faqih juga menjelaskan bahwa Nabi SAW melarang dengan tegas menyakiti hati pemeluk agama lain karena Islam adalah wujud dari perdamaian, bukan kerusakan. Sebab, Islam adalah agama penyebar kasih sayang dan perdamaian yang telah dijelaskan dalam (QS. Al-Anbiya (21): 107).

Pada bagian ketiga, Kiai Faqih menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kaitan dengan relasi antarumat beragama. Berawal dari lafaz basmalah yang mampu menjadi inspirasi dalam relasi mubadalah. Karena, basmalah adalah wujud dari bentuk kasih kasih sayang, keagungan, dan kehormatan. Sehingga, ketika diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, basmalah merupakan wujud kasih sayang terhadap keluarga, orang tua, masyarakat, perbedaan kelas sosial, suku, agama, dan ras sehingga dapat saling menghormati, menyayangi, dan membahagiakan. Bahkan, Kiai Faqih juga menjelaskan hukum dan tata cara menjawab salam dari orang yang berbeda agama.

Buku ini sangat menarik untuk dibaca dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat yang plural, sehingga konflik karena perbedaan antara suku, ras, dan agama dapat berkurang. Selain itu, misi Islam yang menghargai pluralisme dan rahmatan lil ‘alamiin dapat terwujudkan serta diaplikasikan.

Judul buku       : Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama
Penulis           : Haqihuddin Abdul Kodir
Penerbit          : IRCiSoD,
Tahun Terbit    : Desember, 2022
ISBN               : 978-623-5348-40-7
Halaman         : 234

Multi-Page

Tinggalkan Balasan