“Monolog Negeri Sarung”, Kritik Menohok pada Kekuasaan

888 kali dibaca

Tulisan ini sekadar catatan singkat untuk pertunjukan “Monolog Negeri Sarung”. Sabtu 27 Agustus 2022 kemarin, sebagai puncak perayaan hari jadi jejaring duniasantri yang juga bertepatan dengan bulan kemerdekaan, telah digelar sebuah pertunjukan berjudul “Monolog Negeri Sarung” yang berlangsung di gedung Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) Depok, Jawa Barat.

Beberapa tokoh penting, seperti KH Said Aqil Siradj, Ibu Hj Sinta Nuriyah Wahid, Wakil Ketua DPR RI (HC) Rachmad Gobel, dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen, turut menghadiri acara yang berlangsung pada pukul 11.00-14.00 WIB tersebut.

Advertisements

Penulis sendiri kebetulan mengikuti acaranya melalui kanal Youtube, sehingga tidak bisa menggambarkan bagaimana riuh meriahnya suasana di sana berlangsung. Tetapi, walaupun begitu, melalui tangkapan layar laptop penulis, nampak bahwa acara berlangsung dengan baik dan asyik, apalagi ketika pentas Monolog Negeri Sarung itu berlangsung.

Rasa penasaran dan antusiasme penulis mengikuti adegan beserta tiap perkataan dan joke pemeran monolog yang betul-betul mengena, aktuil, dan kritis. Tidak hanya menghibur, tetapi juga mencerahkan.

Pemerannya adalah seorang perempuan, tak lain adalah putri Gus Dur, Mbak Inayah Wulandari Wahid. Beliau adalah seniman, budayawan, yang menerusi keberanian sang ayahanda, Gus Dur, yang kita kenal semua berasmo lengkap Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia.

Gus Dur, seorang yang suka humor dan berhumor. Humornya selalu berwawasan sejarah, pengetahuan, luas merambah aneka bidang kehidupan, dan tidak pernah meleset sasaran. Mbak Inayah Wahid, sebagaimana sang ayahanda, juga melakukan humor dengan lancar, tajam, kritis, dan menohok pada kekuasaan. Hal-hal yang ditekankan tentu saja soal-soal rakyat, soal kemanusiaan. Dengan lantang tanpa menghilangkan kesahajaannya, kritik-kritik itu berkeluaran menggelitik perut dan nalar.

Tidak seperti pada stand up comedy biasa, pada Monolog Negeri Sarung humor itu berwawasan dan mengedepankan nalar kritis dengan posisi stand up yang jelas, yaitu pada kemanusiaan, keadilan, kebenaran. Tawa adalah bumbu yang bukan menjadi tujuan utama, tetapi sebagai penguat dalam ingatan, bahwa ada yang penting perlu kita renugkan.

Penulis tidak bermaksud “mendiskreditkan” mereka yang ber-stand up comedy ala biasa. Itu juga suatu kegiataan yang bagus, terutama bagi kalangan anak muda yang memerlukan suntikan daya kritis.

Misalnya saja, program milik Deddy Corbuzier, Somasi. Tentu tidak bisa dibandingkan dengan acara Monolog Negeri Sarung kemarin, yang memang lebih serius dan intensif tanpa mengurangi bobot pesannya sebagaimana sering kita tangkap dari stand up comedy. Ketika membicarakan soal-soal keadilan apalagi yang menyangkut politik, mereka cenderung samar-samar dan lebih penuh tawa.

Kembali kepada pentas Monolog Negeri Sarung. Ada beberapa hal yang membuat penulis tergelitik untuk membuat penafsiran kecil. Pertama, bukankah kita bertanya-tanya mengapa yang memerankan Monolog Negeri Sarung justru perempuan (Mbak Inayah Wahid berperan sebagai penjual sarung), bukannya laki-laki (misalnya, Ngatawi Al-Zastrow)?

Kedua, sarung selalu identik dengan laki-laki, sedangkan pada monolog bukan laki-laki yang berperan. Lantas, simbol apa gerangan sarung itu? Dan ke mana laki-laki itu?

Penulis menafsirkan, sarung sebaga simbol rakyat, sarung berbicara tentang berbagai hal yang terjadi kepada bangsa ini (Indonesia), dari sejarah hingga kini. Suara sarung (rakyat) itu diwakili oleh seorang wakil rakyat/DPR, yaitu penjual sarung (peranan Mbak Inayah Wahid), dan perempuan simbol tanah air kita, ibu pertiwi.

Kita semua saksikan pada pementasan itu, betapa suara rakyat itu nyata adanya, dan mestinya DPR ya seperti suara yang disuarakan Mbak Inayah Wahid itu, bukannya seperti yang kita banyak lihat selama ini (contoh, yang kemarin berdebat dengan Pak Mahfud MD). Sehingga, kualitas DPR kita tidak seperti sekelompok anak TK (memodivikasi ucapan Gus Dur tentang DPR sebagai Taman Kanak-kanak).

Penulis sendiri amat yakin, jika DPR bersuara kepada kekuasaan laiknya tokoh penjual sarung dalam Monolog Negeri Sarung itu, dan suara itu dilaksanakan oleh seluruh jajaran pejabat pemerintahan, tentu akan timbul apa yang dikatakan istilah gemah ripah loh jinawi itu, yaitu perjuangan melalui rakyat yang diwakili betul-betul sehingga tercipta negeri madani.

Pentas “Monolog Negeri Sarung” yang didukung oleh penampilan pelukis Kaisar Nuno, para santriwan-santriwati, musik Ki Ageng Ganjur, serta peran narator Abdullah Wong dan peran utama monolog Mbak Inayah Wulandari Wahid, menjadi sebuah momentum untuk betul-betul mewakili suara rakyat, yang adalah suara Tuhan, melalui pagelaran kebudayaan. Sarung mesti berkibar, sebagaimana “rakyat” harus berperan. Wassalam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan