Misteri Nabi Khidir masih menjadi perdebatan di kalangan ulama hingga kini. Terutama, mengenai nasab, apakah ia seorang wali, malaikat, ataukah nabi. Juga, tentang umurnya yang panjang, apakah ia masih hidup ataukah sudah wafat, serta apakah ia hidup pada zaman Nabi Muhammad ataukah hidup sesudah itu.
Beberapa hal ini menjadi misteri Nabi Khidir. Begitu pula seputar para wali, masih hangat diperbincangkan. Lebih-lebih terkait dengan kekeramatan para wali. Bagaimana hal ihwal keramat berdasarkan Al-Quran, hadis, atsar sahabat, kitab-kitab ulama yang sahih; dan apakah keramat merupakan penyempurnaan mukjizat, apakah wali juga dimiliki bangsa jin, bagaimana wali dan kekeramatan menurut pandangan Qadariyah dan Muktazilah, serta apa itu wali quthb, ghauts, autad, abdal, nuqaba’, dan nujaba’.
Mayoritas informasi mengenai hal-hal tersebut telah dikupas tuntas di dalam buku dengan judul Nabi Khidir & Keramat Para Wali ini sejauh pengetahuan penulisnya, serta disebutkan pula mana yang benar dan mana yang salah terkait pemaparan-pemaparan mengenai berita tersebut.
Buku ini merupakan terjemahan dari kitab ‘Inayatul Muftaqir bima Yata’allaq bi Sayyidina Khidir ‘Alaihissalam dan kitab Bughyatul Adzkiya’ fi Bahtsi ‘an Karamatil Auliya. Kedua kitab tersebut adalah karya Syekh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tarmasi, yang diterjemahkan oleh Ahmad Dzulfikar dan Muhammad Sholeh Asri, serta Kata Pengantarnya ditulis oleh KH Harir Muhammad Mahfudz At-Tarmasi (cucu Syekh Mahfudz At-Tarmasi) dan KH Maimun Zubair (Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang).
Telah popular di kalangan kita bahwa Syekh Mahfudz At-Tarmasi merupakan ulama yang mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk amal yang sangat dicintainya, yaitu nasyrul ilmi lewat ta’allum, ta’lim, dan nashnif. Di usia belia, Syekh Mahfudz diajak bapaknya menunaikan haji sekaligus menimba ilmu di tanah Haramain.
Menginjak usia remaja, ia kembali ke Jawa dan belajar di beberapa pesantren, salah satunya ke Kiai Sholeh Darat Semarang. Setelah itu, ia memperdalam ilmu lagi ke Haramain dan menetap di Mekkah, hingga didaulat menjadi syekh dan mufti di Masjidil Haram. Selain mengajar para santrinya, ia juga banyak menulis kitab berbagai ilmu agama, di antaranya adalah kitab ‘Inayatul Muftaqir dan Bughyatul Adzkiya’ ini.
Kitab ‘Inayatul Muftaqir berisi materi sangat menarik yang mencuplik dari kitab langkanya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani yang secara khusus membahas Al-Khidir, yaitu kitab Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah.
Syekh Mahfudz At-Tarmasi mengungkap perbedaan pendapat di antara para ulama beserta dalil-dalilnya secara komprehensif, lalu ia menyimpulkan dan selanjutnya berkomentar pendapat manakah yang sahih.
Sebagai contoh, dalam tafsirnya, Abu Bakar An-Naqasy meriwayatkan dari Ali bin Musa Ar-Ridha, dari Muhammad bin Ismail Al-Bukhari bahwa Al-Khidir telah wafat. Al-Bukhari juga pernah ditanya masih hidupnya Al-Khidir, tetapi ia malah mengingkarinya. Ia berdalil dengan hadis, “Sesungguhnya pada penghujung 100 tahun, seorang pun yang berada di atas muka bumi tidak akan hidup.”
Hadis ini yang di-takhrij oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari Ibnu Umar dan hadis ini merupakan pegangan utama bagi para ulama yang berpendapat bahwa Al-Khidir wafat dan mengingkari keabadiannya (hlm. 256).
Begitu pun dengan Abu Husain bin Al-Munadi, ia meriwayatkan dalam kitabnya yang mengumpulkan riwayat Al-Khidir, dari Ibrahim Al-Harbi, bahwa Al-Khidir telah wafat, dan hal inilah yang dipegang kuat oleh Ibnu Al-Munadi. Namun, Ats-Tsa’labi berkata bahwa Al-Khidir tidak akan wafat, kecuali pada akhir zaman saat Al-Qur’an diangkat. Ad-Daruquthni juga meriwayatkan dengan sanad yang telah disebutkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Ajal Al-Khidir ditunda hingga Dajjal mendustakannya.”
Hal senada juga diperjelas dan ditegaskan oleh Ibnu Ishaq dalam kitab Al-Mubtada’, ia berkata, “Para sahabat kami mengisahkan, ketika Adam sudah menjelang ajal, ia mengumpulkan seluruh keturunannya, lalu Adam berpesan, ‘Sesungguhnya Allah akan menurunkan azab kepada penduduk bumi, maka hendaklah jasadku ini tetap bersama kalian dalam pengembaraan hingga kalian menguburkanku di tanah Syam.’ Maka ketika badai topan terjadi, Nuh berkata kepada anak-anaknya, ‘Sesungguhnya Adam telah berdoa kepada Allah agar memanjangkan umur orang yang menguburkannya hingga hari kiamat.’ Jasad Nabi Adam masih saja terawat dengan baik hingga Al-Khidir yang melaksanakan tugas mengebumikannya. Maka, Allah Swt menepati janji-Nya dan Al-Khidir hidup hingga masa yang dikehendaki Allah.” (hlm. 244).
Dalam pada itu, Syekh Muhammad Mahfudz At-Tarmasi menjelaskan sekaligus menunjukkan pendiriannya dengan berpendapat bahwa Al-Khidir memang masih hidup sampai sekarang berdasarkan dalil-dalil kuat yang dikemukakan serta argumen-argumen yang mendukungnya.
Sementara kitab Bughyatul Adzkiya juga tidak kalah menarik. Kitab ini berisi tentang pernyataan Imam Tajuddin As-Subki dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami terkait wali dan kekeramatan, pernyataan ganjil para wali yang menuai kontroversi, keramat Abu Bakar, keramat Umar bin Khattab, keramat Utsman bin Affan, keramat Abi bin Abi Thalib, Sayyidina Abbas, Sa’ad bin Abu Waqash, Abdullah bin Umar, bentuk-bentuk keramat para wali, dan lain sebagainya.
Dari buku ini kita menjadi tahu bahwa di antara kekeramatan Sayyidina Abu Bakar adalah tahu ia akan meninggal, tahu jenis kelamin jabang bayi yang sedang dikandung istrinya, dan salah satu keramat yang dianugerahkan kepada Sayyidina Umar adalah menghentikan goncangan bumi dengan cepat sewaktu ia memuji Allah dengan mencambuk bumi seraya berkata, “Tenanglah kamu, hai Bumi, bukankah aku telah berbuat adil kepadamu?”
Demikian pula saat lahar panas yang muncul dari gunung, Sayyidina Umar memerintahkan Abu Musa Al-Asy’ari untuk masuk ke gua dengan membawa surbannya dan menyuruhnya agar menyumbat lubang keluarnya lahar itu dengan surban miliknya tersebut supaya lahar tidak membahayakan rumah-rumah penduduk di sekitar gunung (hlm. 54). Begitu pula, kekeramatan sahabat lain yang tidak kalah hebat berikut dalilnya, juga disebutkan di dalam buku ini.
Akhir kata, sebagaimana diungkap oleh KH Muhammad Mahfudz bin Harir bin Muhammad bin Muhammad Mahfudz At-Tarmasi di bagian akhir “Sambutan Keluarga” pada buku ini, dengan upaya kita membaca dan mempelajari kitab-kitab Syekh Mahfudz, berarti kita turut bersama menjaga dan melestarikan keilmuan beliau.
Dengan begitu, kita yang lemah ini, juga bisa tabaruk dan semoga kelak bisa ikut serta dalam barisan jamaah para ulama yang mulia di sisi Rasulullah. Dan, mudah-mudahan masyarakat Islam tidak hanya mendapat berkah dari keilmuan beliau yang luas, tetapi juga meneruskan perjuangan dan menyerap suri teladan mulia darinya. Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin…
DATA BUKU
Judul : Nabi Khidir & Keramat Para Wali
Penulis : Syekh Muhammad Mahfudz At-Tarmasi
Penerbit : Sahifa Publishing
Cetakan : I, Desember 2016
Tebal : 326 halaman
ISBN : 978-602-6264-30-5