Menyoal “Kesalehan” di Ruang Publik

81 views

Travelling tidak hanya tentang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia adalah petualangan jiwa, sebuah proses rehat dari rutinitas yang menyesakkan.

Di balik ransel dan tenda, sering kali tersimpan percikan makna yang tak terduga. Salah satunya saya temukan di Bukit Klangon, Sleman, kaki Gunung Merapi yang tenang tapi menyimpan kegagahan alamnya.

Advertisements

Perjalanan ini bukan sekadar liburan. Ada sebuah perenungan yang mendalam, sebuah potongan kisah yang ingin saya bagi: tentang kesalehan yang berkemah, tentang wajah baru religiusitas di ruang-ruang rekreasi publik.

Tanggal 22 Februari 2025, saya dan beberapa kawan memutuskan untuk camping di Bukit Klangon. Tempat ini dikenal sebagai surga kecil para pecinta alam, lengkap dengan panorama Merapi yang pada malam itu bahkan memperlihatkan semburat lava di puncaknya —pemandangan langka dan magis. Seperti kebanyakan orang yang datang ke sana, tujuan kami sederhana: melepas penat, memperkuat ikatan pertemanan, dan menikmati malam dengan api unggun, kopi, dan tawa ringan di tengah udara dingin pegunungan.

Namun, ada satu hal yang membuat malam itu berbeda. Di tengah sejuknya angin malam dan desah dedaunan yang berbisik pelan, sekitar pukul satu dini hari, kami mendengar lantunan bacaan Al-Qur’an. Suara itu tidak lirih—lantang dan jelas, membelah keheningan malam. Awalnya kami mengira ada seseorang yang sedang mengulang hafalan. Tapi rasa penasaran membawa kami menelusuri sumber suara.

Ternyata, di antara tenda-tenda lain, kami menemukan sekelompok orang yang sedang mendirikan salat berjamaah. Sang imam mengenakan gamis panjang, wajahnya mengingatkan pada tipikal Arab, meski dari logat dan ekspresinya terlihat ia adalah orang lokal. Salat tahajud itu dilakukan secara terbuka, dengan speaker kecil yang menguatkan suaranya. Sekilas, pemandangan itu begitu saleh. Tapi dalam diam kami bertanya: apakah bentuk kesalehan ini relevan dengan ruang dan waktu yang dipilih?

Spiritualitas yang Menjadi Spektakel

Fenomena seperti ini bukan hal biasa. Bukit Klangon bukanlah masjid atau tempat ibadah—ia ruang rekreatif, tempat orang datang mencari kedamaian dalam bentuk yang sangat personal. Ketika aktivitas spiritual seperti tahajud dilakukan secara terbuka dan mengundang perhatian, maka ada batas tipis antara ekspresi keimanan dan performativitas agama.

Apakah ini bagian dari “Islamisasi ruang publik?” Atau justru ekspresi kebebasan beragama yang dikemas dalam “wajah baru?”

Perilaku seperti ini membuka multi-interpretasi yang luas, terutama ketika agama tidak lagi hanya hadir dalam masjid, tetapi juga di atas tanah-tanah rekreatif yang netral.

Dalam istilah Asef Bayat, ini bisa disebut sebagai bentuk Post-Islamism, yakni kondisi ketika ekspresi religius berpindah dari ruang formal (politik dan institusi) ke ranah personal dan simbolik. Ia tidak lagi mengusung proyek Islam politik secara eksplisit, tapi justru memperlihatkan Islam sebagai identitas kultural, melalui pakaian, kegiatan, hingga ritual yang dimodifikasi sesuai konteks kekinian.

Islam Normatif dan Islam Budaya: Dua Arus yang Bersilang

Aksin Wijaya membagi Islam menjadi dua dimensi: Islam normatif dan Islam budaya. Yang pertama bersifat ajeg dan universal—rukun iman dan rukun Islam. Yang kedua bersifat dinamis, membumi pada konteks ruang dan waktu. Di sinilah garis horizontalnya. Bukit Klangon dan tempat-tempat serupa merupakan ruang budaya yang menghimpun banyak latar, gaya hidup, dan interpretasi agama yang beragam.

Ketika kesalehan pribadi diekspresikan di ruang publik yang heterogen, maka muncul pertanyaan: adakah batasan? Adakah etika yang perlu dijaga agar kesalehan tidak menjadi beban bagi orang lain? Di sinilah pentingnya “hablum min an-nās” bahwa hubungan antar-manusia yang harmonis. Jangan sampai niat suci menyembah Tuhan justru mengganggu manusia lain yang juga tengah mencari ketenangan dalam bentuk berbeda.

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Baihaqi)

Agama, seperti hadis Nabi, dihadirkan untuk menyempurnakan akhlak. Sementara akhlak, dalam konteks sosial, menyentuh hal-hal subtil: menghargai ruang publik, di mana terdapat (hak) orang selain kita, tidak mendominasi suasana, serta bijak membaca situasi. Ketika seseorang menyalakan pengeras suara untuk salat tahajud di tengah destinasi wisata malam, bukankah ini bisa berpotensi mengganggu orang lain yang sedang tidur atau kontemplasi dalam diam?

Komodifikasi Religiusitas atau Etalase Kesalehan?

Fenomena semacam ini merupakan dampak dari tren kesalehan yang semakin terlihat di ruang publik. Kita lihat bagaimana hijab menjadi fashion, kajian menjadi gaya hidup, bahkan zikir bersama di kafe atau hotel kini marak. Dalam hal ini, spiritualitas tidak hanya menjadi praktik keimanan, tapi juga identitas sosial dan tidak jarang menjelma sebagai simbol status.

Namun, tidak semua bentuk ekspresi religius harus dicurigai sebagai bentuk komodifikasi. Yang patut digarisbawahi ialah saat ekspresi itu kehilangan empati sosial dan menjadi dominasi simbolik. Di sinilah peran penting pendidikan agama yang menekankan etika sosial, bukan hanya ritual individual.

Islam Ramah vs Islam Ramai

Indonesia telah lama dikenal dengan wajah Islam yang ramah, bukan yang ramai. Ramah dalam arti menghargai konteks, menjaga adab, dan tahu kapan harus diam. Dalam konteks Bukit Klangon, keramaian spiritual yang menyita perhatian di tengah malam justru menyentil batas itu.

Pengalaman saya menyaksikan kelompok “tahajud berjamaah” di perbukitan ini menjadi bahan refleksi mendalam. Apakah mereka sadar bahwa tindakan mereka menyita ruang kontemplatif orang lain? Apakah ada niatan menampilkan simbol religius secara demonstratif? Atau mungkin, ini hanya bentuk kesalehan yang jujur, hanya saja tidak sensitif terhadap ruang dan waktu?

Kesalehan yang Membumi

Akhirnya, pengalaman di Klangon ini membuka diskusi panjang soal bagaimana kita memahami dan mempraktikkan agama pada dewasa ini. Bukan soal benar atau salah, tapi soal bijak atau tidak. Apakah kesalehan kita membumi, atau justru membumbung tanpa arah?

Agama yang baik, seperti ditulis oleh para pemikir progresif Islam, adalah yang menyejukkan dan menyentuh hati, bukan yang mengejutkan dan mendominasi suasana. Bukit Klangon dan perbukitan lain akan terus menjadi tempat orang mencari Tuhan dalam hening maupun tawa. Tugas kita sebagai pejalan, juga sebagai orang beriman, adalah menjaga harmoni di antara keduanya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan