Travelling tidak hanya tentang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia adalah petualangan jiwa, sebuah proses rehat dari rutinitas yang menyesakkan.
Di balik ransel dan tenda, sering kali tersimpan percikan makna yang tak terduga. Salah satunya saya temukan di Bukit Klangon, Sleman, kaki Gunung Merapi yang tenang tapi menyimpan kegagahan alamnya.

Perjalanan ini bukan sekadar liburan. Ada sebuah perenungan yang mendalam, sebuah potongan kisah yang ingin saya bagi: tentang kesalehan yang berkemah, tentang wajah baru religiusitas di ruang-ruang rekreasi publik.
Tanggal 22 Februari 2025, saya dan beberapa kawan memutuskan untuk camping di Bukit Klangon. Tempat ini dikenal sebagai surga kecil para pecinta alam, lengkap dengan panorama Merapi yang pada malam itu bahkan memperlihatkan semburat lava di puncaknya —pemandangan langka dan magis. Seperti kebanyakan orang yang datang ke sana, tujuan kami sederhana: melepas penat, memperkuat ikatan pertemanan, dan menikmati malam dengan api unggun, kopi, dan tawa ringan di tengah udara dingin pegunungan.
Namun, ada satu hal yang membuat malam itu berbeda. Di tengah sejuknya angin malam dan desah dedaunan yang berbisik pelan, sekitar pukul satu dini hari, kami mendengar lantunan bacaan Al-Qur’an. Suara itu tidak lirih—lantang dan jelas, membelah keheningan malam. Awalnya kami mengira ada seseorang yang sedang mengulang hafalan. Tapi rasa penasaran membawa kami menelusuri sumber suara.
Ternyata, di antara tenda-tenda lain, kami menemukan sekelompok orang yang sedang mendirikan salat berjamaah. Sang imam mengenakan gamis panjang, wajahnya mengingatkan pada tipikal Arab, meski dari logat dan ekspresinya terlihat ia adalah orang lokal. Salat tahajud itu dilakukan secara terbuka, dengan speaker kecil yang menguatkan suaranya. Sekilas, pemandangan itu begitu saleh. Tapi dalam diam kami bertanya: apakah bentuk kesalehan ini relevan dengan ruang dan waktu yang dipilih?
Spiritualitas yang Menjadi Spektakel
Fenomena seperti ini bukan hal biasa. Bukit Klangon bukanlah masjid atau tempat ibadah—ia ruang rekreatif, tempat orang datang mencari kedamaian dalam bentuk yang sangat personal. Ketika aktivitas spiritual seperti tahajud dilakukan secara terbuka dan mengundang perhatian, maka ada batas tipis antara ekspresi keimanan dan performativitas agama.