Saya tidak kaget tatkala Ahmet T. Kuru, salah seorang penulis Turki prolifik, berhadapan dengan polisi di Negeri Jiran pada awal tahun 2024. Bahkan ketika bulan lalu buku-bukunya dimasukkan daftar hitam oleh lembaga fatwa Malaysia, saya hanya tersenyum getir. Sebab, jauh sebelum Kuru, saya tahu nama penulis berdarah Turki lain, Mustafa Akyol, pernah menghadapi kejadian serupa di tahun 2017.
Kronologi perseteruan dengan otoritas setempat terekam dengan baik di bagian pengantar salah satu karya Akyol yang masyhur, Reopening Muslim Minds: A Return to Reason, Freedom, and Tolerance (New York: St. Martin’s Press, 2021), dengan tajuk ‘Suatu Malam Bersama Polisi Agama’.

Apa yang menimpa kedua penulis berdarah Turki tersebut memberikan lanskap menarik kepada khalayak bahwa di sebagian negara dengan mayoritas umat Islam, tindakan represif terhadap ide non-mainnstream adalah hal lumrah.
Sindiran Akyol, pelarangan buku lebih mudah daripada kontra-argumen terhadap narasi-narasi yang dianggap tidak Islami (un-Islamic speech). Tindakan yang terakhir ini membutuhkan upaya untuk mempelajari, memikirkan kembali, dan mengartikulasikan ide. Padahal, langkah tersebut merupakan cara paling ideal untuk mewujudkan dunia Muslim yang lebih kreatif. Namun, sebelum merealisasikan itu, kebebasan adalah prasyarat mutlak yang harus dipenuhi terlebih dahulu (hlm. 90).
Pada buku yang relatif tipis ini, diakui penulisnya sebagai pengantar terhadap isu Islam dan kebebasan. Semua pembahasan dalam delapan babak menjurus pada satu topik besar. Penyampaian ide yang digunakan juga lebih mudah dicerna pembaca secara general, mengingat ia mencoba untuk “elucidating complex ideas with personal anecdotes, historical episodes, and thought experiments, which I am sharing for the first time.”
Kemampuan story-telling Akyol memang patut mendapat ancungan jempol. Amunisi ini kerap ia pakai untuk memulai tulisan dan kuliahnya: bertolak dari cerita-cerita sederhana yang memantik perenungan mendalam.
Pada bagian pengantar, misalnya, Akyol menarasikan pengalamannya saat perjalanan pulang dari Arab Saudi. Ia melihat bagaimana perempuan-perempuan berdarah Arab menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian hitam. Ketika pesawat hendak mendarat di Istanbul, tiba-tiba mereka keluar dari lavatori dengan pakaian serba terbuka.