Menyelisik Agama Baha’i di Indonesia

1,504 kali dibaca

Belakangan ini, jagat maya nasional agak dihebohkan dengan ucapan selamat hari raya dan sambutan positif kepada kelompok Baha’i (agama Baha’i) yang disampaikan oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas. Ucapan ini dianggap sebagai bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan agama Baha’i.

Agama Baha’i sendiri adalah sebuah komunitas kepercayaan umat. Mungkin bagi kita yang orang awam akan geleng-geleng kepala, apa itu kepercayaan (agama) Baha’i? Atau malah salah tafsir dengan memahaminya sebagai muhibbi-nya atau follower-nya Gus Baha?

Advertisements

Jawabanya tidak. Karena, agama Baha’i ini benar adanya. Keberadaan dan eksistensinya memang agak eksklusif dan minim liputan media, sehingga hampir sebagian masyarakat kita tidak megetahuinya. Tetapi, faktanya, agama beserta pemeluk Baha’i juga beraktivitas di berbagai belahan dunia, termasuk di tengah mayoritas agama di Indonesia.

Kembali pada ucapan Menag RI kepada agama Baha’i. Ucapan tersebut secara langsung dan tidak langsung menjadi polemik bagi masyarakat. Banyak sekali pihak yang kontra; organisasi keagamaan; tokoh merespons hal ini dengan “mengkerut”. Mereka mempertanyakan apa dasar dan apa maksud dari ucapan Menag RI. Lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa agama Baha’i adalah sesat dan sepatutnya tidak diberikan ruang eksistensi yang berlebihan.

Dalam tinjauan literatur dan hukum, agama Baha’i adalah kelompok kepercayaan (agama) yang diakui secara internasional. Dan pemerintah Indonesia sudah memutuskan sikap tentang itu. Persebaran pemeluk agamanya juga masif di berbagi belahan dunia, meskipun dalam catatan populasi pemeluknya tidak sebesar agama lainya. (lihat: Agama-Agama Minor, 2013 dan Keputusan Menag RI Nomor 276, 2014).

Pada dasarnya keberadaan dan eksistensi agama Baha’i yang minoritas ini masih diupayakan dan dikembangkan oleh para pemeluknya. Dan hal ini menjadi kajian menarik karena perkembangan agamanya. Termasuk, juga menariknya bagaimana menyelisik eksistensi agama Baha’i di Indonesia yang banyak tidak diketahui masyarakat.

Sejarah Baha’i

Agama Baha’i pertama kali muncul dan berkembang di Iran (Persia) pada abad ke-19. Agama ini dibawah oleh seorang pedagang bernama Bab yang hidup pada kurun 1819 hingga 1850. Kemudian, ajaran atau agama Baha’i ini diregenerasikan pada penerusnya, yakni seseorang yang bernama Baha’ullah, yang hidup pada kurun 1817 hingga 1892.

Pertumbuhan agama Baha’i ini tidak mulus-mulus begitu saja. Karena, tak lama setelah Baha’ullah meneruskan estafet agama Baha’i, Baha’ullah ditawan dan dikirim ke penjara yang selalu berpindah, yakni Konstatinopel, Adrianople, dan Acre (Israel). Kemudian, pada abad ke-20, estafet kepemimpinan agama Baha’i diteruskan oleh anaknya yang bernama Abdul Baha’. Selanjutnya Abdul Baha’ inilah yang mendakwahkan dan menjelaskan mengenai agama Baha’I ke seluruh dunia.

Ketika estafet agama Baha’i dipegang oleh Abdul Baha’, diyakini sebagai masa keemasan agama Baha’i, di mana Abdul Baha’ menjadi panutan dan memiliki otoritas dalam menjelaskan tafsir-tafsir ajaran agama Baha’i kepada umat Baha’i. Setelah Abdul Baha’ wafat, estafet agama Baha’i dilanjutkan oleh cucu tertua dari Baha’ullah yang sekaligus ditunjuk sebagai wali pada kurun 1897 hingga 1957, yakni Shoghi Effendi.

Setelah Shoghi Effendi wafat, pada 1963 estafet agama Baha’i ditakwilkan pada Balai Keadilan Sedunia. Dan agama Baha’i terus bertumbuh dan berkembang ke berbagai belahan dunia, dengan segala pergulatanya.

Agama Baha’i memiliki visi dan misi mewujudkan perubahan positif rohani bagi kehidupan manusia dengan memperbaharui dan mengimplementasikan lemabaga berseta umat yang sesuai dengan ajaran keesaan Tuhan, kesatuan agama, dan manusia.

Baha’i di Indonesia

Di Indonesia, agama Baha’i tidak banyak dibicarakan oleh masyarakat maupun media masa, sehingga perbincangan mengenai agama Baha’i terbatas dan jarang diketahui oleh masyarakat umum. Ada momen di mana agama Baha’i dibicarakan secara publik, yakni pada 2014. Waktu itu Menag RI Lukman Hakim merespons masukan beberapa pihak untuk mengkaji status hukum agama Baha’i di Indonesia.

Pada waktu itu Menag Lukman Hakim melalui Keputusan Menteri Agama Nomor MA/276/2014 tentang Penjelasan Agama Baha’i di Indonesia, menjelaskan, bahwa Baha’i adalah agama yang diakui dunia internasional dan menegaskan bukan sebagai kelompok atau aliran sesat. Lebih lanjut, Menag menegaskan bahwa agama Baha’i adalah agama yang sedang berkembang di Indonesia. Dan selayaknya agama legal resmi yang diakui pemerintah dan agama lokal, agama Baha’i juga dilindungi, yakni berdasar ketentuan pasal 28 E, 28 D, dan 29 Undang-Undang Dasar 1945.

Jika ditarik lagi jauh ke belakang, Presiden Soekarno pernah melarang agama atau kelompok Baha’i dan beberapa organisasi lainnya yang tertuang di dalam Keputusan Presiden Nomor 264/1962. Akan tetapi, setelah reformasi, agama Baha’i bisa bernapas lega kembali. Pasalnya, waktu itu, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut atau membatalkan keputusan tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 69/2000. Sehingga beberapa kelompok dan agama yang semula dilarang bisa bertumbuh-kembang kembali.

Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor MA/276/2014, agama Baha’i tersebar di berbagi wilayah di Indonesia. Agama Baha’i tercatat memiliki sekitar 700 pemeluk yang tersebar di wilayah Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Timur, dan Sulawesi Selatan. Mereka berdmosili di kota-kota besar wilayah tersebut.

Sedangkan, dari persebaran agamanya, Baha’i masuk ke Indonesia (Nusantara) pada 1879 yang dibawa oleh para pedagang dari Persia dan Turki, yang bernama Jamal Effendy dan Mustafa Rumi, tepatnya di Pulau Sulawesi. Sejak itu Baha’i mulai dikenal oleh masyarakat pribumi, namun tidak memberikan dampak yang besar pada perubahan keyakinan masyarakat. Hal ini dikarenakan banyak hal. Salah satunya karena Sulawesi menjadi basis beberapa kerajaan Islam dan turunan agama kristen yang dibawa oleh bangsa Barat. Tetapi, hal ini tidak menjadikan Baha’i mandek begitu saja. Nyatanya, sesuai survei Kementerian Agama RI tahun 2014, agama Baha’i ada dan tersebar di lebih lima provinsi. Salah satu kota-kota besarnya adalah Palopo, Surabaya, Pati, Bekasi, dan Medan.

Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia pada 2013 mencatat bahwa umat Baha’i adalah orang-orang yang sedarinya beragama Budha, Yahudi, Protestan, Katolik, Hindu, dan ada juga yang sebelumnya tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun. Dan orang-orang tersebut menemukan “hidayah” untuk memeluk agama Baha’i, yakni mereka merasa menemukan keyakinan yang dapat mempersatukan mereka dan mengamini keesaan Tuhan.

Ajaran Kemanusiaan Baha’i

Selayaknya ajaran agama-agama besar lainya, agama Baha’i juga memiliki ajaran mengenai kemanusiaan. Dan tentunya ajaran kemanusiaan ini melekat pada para pemeluknya. Ajaran kemanusiaan Baha’i salah satu sumbernya berasal dari teladan dan sabda Baha’ullah, redaksinya:

“Tujuan dasar yang menjiwai keyakinan dan Agama Tuhan adalah untuk melindungi kepentingan umat manusia dan mengikat kesatuan umat manusia, serta memupuk semangat cinta kasih dan persahabatan di antara manusia.” (Baha’ullah).

Baha’ullah sendiri meneladankan hal tersebut kepada para pemeluk agama Baha’i, bahwa kepentingan dan tujuan setiap individu harus dilindungi juga disokong, untuk meyakini ajaran dan mengesakan Tuhan dengan diikuti semangat cinta kasih dan persahabatan. Mudahnya, manusia menjadi prioritas dan diberikan ruang untuk dimuliakan dan memuliakan Tuhan.

Berangkat dari hal tersebut, eksistensi agama Baha’i semakin dilirik dan dikenal. Dari ajaran kemanusian ini, agama Baha’i dan Baha’ullah mendapat perhatian dunia internasional. Puncaknya, agama Baha’i mendapat pengakuan dari Persatuan Bangsa-Bangsa (UN) sebagai agama independen pada tahun 1970 dengan ditandai terbentuknya Baha’in Internasional Community (BIC).

Dari paparan tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa agama Baha’i bukanlah ajaran atau kepercayaan sesat seperti apa yang dituduhkan beberapa pihak. Karena, agama Baha’i sendiri adalah agama dari Iran (kuno; lawas) yang sudah mendapat pengakuan dari dunia internasional dengan persebaran pemeluknya di berbagai belahan penjuru dunia.

Sejatinya apa yang dilakukan oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas kepada komunitas agama Baha’i adalah tindakan reaching out, mencoba mengenalkan minoritas pada publik, dan ini adalah tindakan keteladanan dari Menag.

Kita tahu di awal menjabat, Menag Yaqut Cholil Qoumas menegaskan dia berdiri dan menaungi segala agama di tanah air Indonesia ini. Dalam arti, ia adalah Menteri Agama semua agama, tidak hanya Islam, meskipun toh itu selain circle agama-agama yang diakui legalitas oleh negara. Tetapi, hal ini juga hanya kepada ranah agama-komunitas yang jelas struktur, ajaran, dan eksistensinya. Dan salah satunya, pemerintah melihat kelengkapan hal itu pada agama Baha’i.

Karena itu, seyogianya mari menyikapi momentum ini dengan kepala dingin dan berdasar. Kita harus tahu dan memahami agama Baha’i itu apa dan bagaimana. Agar tidak ada narasi-narasi ngawur dan berlebihan yang berkelanjutan. Dan sekali lagi, apa yang dilakukan Menag ini adalah salah satu upaya menjalin dialog dengan agama-komunitas minoritas, yang tak lain tujuannya adalah merawat toleransi dan keberagamaan di Indonesia tercinta ini. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan