Jika ilmu adalah jendela dunia, bahasa adalah jendela ilmu, maka kesadaran adalah jendela jiwa. Melaluinya, manusia mampu mengenali dirinya, memahami makna hidup, dan menyadari kehadiran yang lebih tinggi dari dirinya. Dalam tradisi keagamaan besar seperti Islam dan Buddhisme, kesadaran menjadi dasar spiritualitas yang penting: bukan hanya soal tahu, tetapi hadir, peka, dan hidup dalam keluhuran batin. atau dalam istilah tasawuf disebut dengan insan kamil.
Dalam Islam, kesadaran diidentikan sebagai taqwa, salah satu konsepnya yaitu, muraqabah muncul dari pengakuan bahwa Allah selalu hadir dan menyaksikan. Kesadaran ini membawa manusia untuk menjaga diri dari tindakan zalim, seraya mengarahkan hidupnya pada kebaikan dan pengabdian. Al-Qur’an menyebut orang-orang sadar sebagai ulul albab, yakni mereka yang selalu mengingat Allah, berpikir mendalam, dan tidak menjalani hidup dengan sia-sia.

Allah berfirman:
Ali ‘Imran : 190-191
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia.'” (QS. Āli ‘Imrān: 191)
Sementara itu, dalam Buddhisme, kesadaran (Pali: sati) adalah pusat dari latihan spiritual. Seseorang dilatih untuk hadir utuh dalam setiap tarikan napas dan tindakan kecil dalam hidup. Kesadaran ini akan membebaskan seseorang dari penderitaan dan membantu memutus siklus kelahiran ulang yang tak berujung.
Dhammapada menyebutkan:
“Kesadaran adalah jalan menuju keabadian, kelalaian adalah jalan menuju kematian. Mereka yang sadar tidak mati, mereka yang lalai seolah telah mati sejak lama.”
Ibnu ‘Aṭāillah as-Sakandarī, dalam Kitab al-Ḥikam yang penuh hikmah, menyampaikan:
“أصل كل معصية وغفلة وشهوة الرضا عن النفس، وأصل كل طاعة ويقظة وعفة عدم الرضا منك عنها.”
Artinya: “Asal dari semua maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah merasa puas terhadap diri sendiri. Dan asal dari semua ketaatan, kesadaran, dan kesucian adalah tidak puas terhadap diri sendiri.”