Apakah menulis, menjadi penulis, hari ini terlihat begitu kuno? Usang? Ketinggalan zaman?
Sepertinya iya. Hari ini, orang lebih gandrung menjadi content creator, youtuber, tiktoker –selain terlihat lebih keren, bisa cepat populer, juga lebih cuan.

Ada yang salah? Jelas tidak. Tapi yang perlu diingat, seluruh instrumen dan media yang digunakan oleh para content creator, youtuber, atau tiktoker itu merupakan produk dari masyarakat yang membaca dan menulis. Masyarakat yang sudah selesai dengan tradisi membaca dan menulisnya. Masyarakat yang memiliki tradisi literasi tinggi.
Tidak mungkin lahir teknologi informasi digital, era digital hari ini, tanpa didahului oleh perkembangan budaya membaca dan menulis dari suatu masyarakat manusia. Di pusat-pusat perkembangan budaya baca tulis mencapai puncak kematangan, di situlah lahir produk-produk teknologi, termasuk teknologi informasi digital.
Bagaimana dengan masyarakat yang belum selesai dengan budaya baca tulisnya? Yang paling mungkin adalah menjadi pasarnya, penggunanya, termasuk masyarakat yang gandrung menjadi content creator.
Apakah itu termasuk masyarakat Indonesia?
Untuk menjawabnya, kita harus memeriksa tingkat baca tulis masyarakat Indonesia ada di posisi mana. Ada beberapa indikator yang bisa dirujuk, salah satunya adalah kemampuan membaca dan berhitung (catung) pada anak-anak usia sekolah.
Berdasarkan temuan Programme for International Student Assesmen (PISA), pada 2025 sebanyak 72 persen anak-anak Indonesia berusia 15 tahun memiliki kemampuan membaca di bawah standar. Di saat yang sama, 82 persen memiliki kemampuan matematika di bawah standar. Skor PISA juga menginformasikan bahwa dari tahun ke tahun kemampuan baca anak-anak usia sekolah terus menurun.
Data tersebut mengindikasikan bahwa anak-anak usia sekolah tingkat menengah ini tak bisa membaca dengan baik, tak bisa bermatematika dengan baik. Boleh jadi karena mereka tak suka membaca dan menganggap matematika sebagai momok yang harus dijauhi.
Yang jelas mereka adalah anak-anak yang lahir dari rahim masyarakatnya. Dengan kata lain, mereka terlahir dari masyarakat yang tingkat literasinya masih rendah. Tak ada tradisi membaca yang kuat di dalam keluarga. Tak ada tradisi yang menekuni ilmu matematika di dalam keluarga. Mereka ini, anak-anak yang tak pandai membaca dan berhitung ini, merupakan cerminan dari masyarakatnya.
Masyarakat Indonesia memang sudah melewati budaya lisannya, tapi belum selesai dengan budaya baca tulisnya. Dalam situasi seperti ini, terjadi disrupsi budaya dengan hadirnya teknologi informasi digital. Terjadi pergeseran begitu cepat dari media baca tulis ke media audio visual. Belum sepenuhnya menjadi masyarakat pembaca, kita sudah dipaksa beralih menjadi masyarakat pemirsa. Contohnya, orang kini lebih asik menonton YouTube daripada khusyuk membaca buku– alih-alih tekun menjadi penulis.
Maka, dalam masyarakat pemirsa seperti sekarang ini, menulis atau menjadi penulis terlihat begitu kuno dan usang. Jika kita merilis tulisan di media online, misalnya, hanya akan dibaca belasan orang. Tapi jika kita mengunggah satu konten di YouTube atau Tiktok, kemungkinan besar akan ditonton ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan orang.
Lalu, jika begitu, apa pentingnya kita harus tetap membaca dan menulis? Itu tergantung kita akan menjadi siapa? Masyarakat pencipta atau masyarakat pemirsa?
Sumber ilustrasi: Kaskus.