“Menjerat Gus Dur” dan Sinau Politik Santri

2,562 kali dibaca

Setelah kurun waktu satu dekade sejak meningggalnya Gus Dur dengan berbagai polemik lengsernya kepemimpinan beliau, warga nahdhiyin khususnya dan para netizen, juga bangsa Indonesia umumnya digemparkan dengan terbitnya buku Menjerat Gus Dur yang ditulis oleh kang Virdhika Rizki Utama. Para pengritik dan musuh-musuh Gus Dur tentu mungkin menginginkan kejadian pelengseran Gus Dur oleh MPR melalui sidang istimewa (SI) pada 23 juli 2001 dilupakan sejarah dan dianggap sebagai sebuah penyimpangan dari Gus Dur dan tidak memiliki konsekuensi jangka panjang.

Namun, ironisnya, sebuah kejadian tidak sengaja ketika kang Virdhi yang seorang wartawan meliput peresmian renovasi gedung DPP Golkar menemukan sebuah dokumen tua bertanggal 29 Januari 2001 yang akan dikilokan oleh petugas. Ketika diteliti, ternyata itu adalah lampiran yang berupa dokumen otentik proses pemakzulan Gus Dur yang disebut dengan Skenario Semut Merah (Semer). Dokumen tersebut ditulis Fuad Bawazier dan ditujukan kepada Akbar Tanjung, yang saat itu menjabat Ketua Umum DPP Golkar. Ada nama-nama besar tokoh nasional disebut di dalamnya dengan tugas masing-masing. Antara lain, Amien rais, Anas Ubaningrum, Arifin Panigoro, Priyo Budhi Santosa hingga Azumardi Azra, Surya Paloh, dan Din Samsudin

Advertisements

Dalam buku Menjerat Gus Dur diterangkan bagaimana Fuad Bawazier, Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII, itu menjadi “kepala operasi” dan membagi tugas kepada beberapa pihak untuk penggalangan opini, menjaring dukungan masyarakat, propaganda media, termasuk merekrut preman, cendekiawan, dan pengusaha. Tujuannya jelas: menjatuhkan kredibilitas Presiden Gus Dur melalui kasus Buloggate dan Bruneigate yang dinilai telah berjalan sesuai skenario.

Kang Virdhi dalam bukunya juga menjabarkan awal skenario pelengseran Gus Dur yang dinilai sangat konsisten dalam memimpin dan memperjuangkan demokrasi dan menentang pemerintahan otoriter dan oligarki rezim Orde Baru. Konsistensi Gus Dur ketika menjabat menjadi presiden antara lain karena tidak mau diatur oleh koalisi Poros Tengah yang dipimpin Amien Rais, koalisi yang mencalonkan Gus Dur menjadi presiden.

Kenapa mereka mencalonkan dan mendukung Gus Dur? Mereka berpikir akan dengan mudah mengendalikan Gus Dur. Poros Tengah punya kepentingan membawa semangat sektarian Islam, yang sebagian faksi kecewa dengan dicopotnya Habibie sebagai presiden. Sebab, Habibie dianggap sebagai representasi Islam karena keterlibatannya sebagai Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sementara, di mata Gus Dur, ICMI hanyalah akal-akalan Soeharto untuk memanipulasi sentimen agama demi kepentingan politiknya. Maka itu, ia menolak tegas ketika diminta jadi anggota ICMI. Ini berkaitan lagi dengan sikap Gus Dur yang oposan terhadap rezim Orde Baru. Ada yang berpendapat juga, pengusungan Gus Dur oleh Poros Tengah merupakan cara untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara kelompok Megawati dan kelompok Habibie.

Awal penyusunan skenario penggulingan antara lain karena Gus Dur secara konsisten menolak permintaan Amien Rais soal pengangkatan kembali Fuad Bawazier menjadi Menteri Keuangan. Ceritanya, setelah beberapa bulan Gus Dur menjadi presiden, Amien rais meminta kepada Gus Dur jatah menteri keuangan harus dari PAN, dan orangnya harus Fuad Bawazir. Namun, Gus Dur secara tegas menolak usulan itu. Setelah bernegosiasi panjang, akhirnya Gus Dur menerima usulan tersebut, dan menghasilkan keputusan, orangnya boleh dari PAN, namun bukan Fuad Bawazir. Gus Dur menentukan pilihannya sendiri, yaitu Bambang sudibyo. Atas keputusan itu, Amien Rais mulai menggalang dukungan dan bahkan merasa menyesal telah mencalonkan Gus Dur menjadi presiden.

Selain kasus Buloggate dan Bruneigate, alasan para pembuatan skenario pelengseran Gus Dur yang dijelaskan dalam buku Menjerat Gus Dur juga karena keputusan Gus Dur yang dianggap kontroversial. Di antaranya keputusan Gus Dur membubarkan dua departemen, yakni Departemen Penerangan (Deppen) dan Departemen Sosial (Depsos) dan rencana pencabutan TAP MPRS. Ada juga kasus yang menjadi alasan, yaitu reshuffle Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla. Gus Dur memecat Jusuf Kalla, Menteri Perdagangan dan Perindustrian (politisi Golkar), karena tuduhan KKN dan memecat Laksamada Sukardi (politisi PDIP) karena tidak mampu bekerja dengan anggota timmya. Gus Dur juga tidak senang dengan pejabat-pejabat yang diangkat oleh Sukardi.

Dengan berbagai akumulasi kejadian yang dijadikan alasan dan perlawanan yang didapatkan, Gus Dur dipaksa harus menyerah. Sayangnya, Gus Dur tak menyerah. Ia justru membuat dekrit sebagai upaya perlawanan terakhirnya—yang sebenarnya sudah jelas akan kalah. Poin dekrit kontroversi adalah pembubaran parlemen. Pembaca dekrit tersebut, Yahya Staquf, meyakini bahwa poin pembubaran parlemen merupakan ide Gus Dur sendiri. Teman-teman Gus Dur di Forum Demokrasi yang dituduh sebagai pembisik menolak poin tersebut. Pada akhirnya, Gus Dur pun dilengserkan oleh MPR pada 23 juli 2001.

Kesimpulannya adalah, pertama, inilah yang saya katakan sinau (belajar) konsistensi sikap dari Gus Dur. Ketika masih di luar kekuasaan, ia terus membentuk, memperjuangkan, dan merawat idealismenya —terutama tentang demokrasi— dan ketika berada di dalam kekuasan, Gus Dur memperjuangkan idealismenya agar dapat terwujud. Contoh real konsistensi Gus Dur memajukan demokrasi Indonesia dan keluar dari rezim Orde Baru seperti meletakkan dasar bagi dwi fungsi ABRI, pengakuan atas hak-hak Tionghoa Indonesia, warga Papua, Kristen, dan minoritas sebagai sesama warga negara Indonesia, melindungi kebebasan pers, meningkatkan harapan akan demokrasi dan menghancurkan kultus presiden super kuat (strong-man presidency).

Kedua, setelah 18 tahun Gus Dur dilengserkan dengan cara seolah-olah konstitusional, aktor dan konfigurasi politik Indonesia hari ini masih sama. Ini membuktikan betapa kuatnya kekuatan oligarki Orde Baru mencengkeram. Gus Dur membuktikan bahwa politik tanpa kompromi dengan niat yang tulus membersihkan virus oligarki Orde Baru sebenarnya sangat bisa dilakukan. Gus Dur konsisten ingin membuat sejarah dan peradaban bahwa politik tanpa transaksi dapat dilakukan. Prasyaratnya adalah kemauan, kesiapan, dan keberanian.

Oleh karena itu, usaha dari kang Virdhi ini sangat luar biasa dan perlu apresiasi lebih dari kaum nahdhiyin serta teman-teman santri sebagai generasi penerus bangsa dan perjuangan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Saya sebagai santri yang merupakan bagian yang wajib sami’na wa atho’na pada kiai sangat merekomendasi dan menganjurkan generasi muda NU untuk memiliki dan membaca buku ini, untuk lebih mengetahui manaqib pelengseran Gus Dur, gaya kepemimpin, serta konsistensi sikap beliau dalam memimpin.

Wallahu a’lam bi asshowab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan