Menjaga Ruh Islam di Tengah Sekularisasi Kampus

71 views

Seiring berkembangnya zaman, arus globalisasi dan modernisasi semakin berkembang pesat. Universitas Islam pun kini tengah menghadapi tantangan serius: sekularisasi akademik. Fenomena ini menandai pemisahan antara agama dan kehidupan publik yang mulai merambah pula ke dunia pendidikan tinggi. Akibatnya, institusi yang seharusnya menjadi pusat integrasi antara ilmu dan iman justru mulai kehilangan ruh keislamannya.

Sekularisasi di lingkungan kampus terlihat dalam bentuk kurikulum yang cenderung netral nilai. Rasionalitas dan kebebasan berpikir lebih dikedepankan, sementara aspek spiritual kerap terpinggirkan. Nilai-nilai Islam yang seharusnya menjadi fondasi pembentukan karakter mahasiswa sering kali hanya hadir dalam mata kuliah keagamaan yang terpisah, bukan landasan dalam setiap bidang ilmu. Padahal, seperti yang dikatakan Fazlur Rahman, “Tujuan Pendidikan Islam bukanlah sekadar mencetak manusia pintar, tetapi membentuk manusia seutuhnya: yang berpikir, merasa, dan bertindak dalam kerangka nilai Ilahi.”

Advertisements

Sebagai mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di universitas Islam, saya merasakan langsung bagaimana identitas keislaman di kampus seringkali hadir sebatas simbol. Sebagian besar mata kuliah yang saya pelajari berfokus pada bidang studi saya, seperti reading, speaking, grammar. Hanya ada satu mata kuliah keagamaan, dan itu pun terasa sebagai pelengkap, bukan inti pendidikan. Pembahasan seputar nilai-nilai spiritual dan etika Islam jarang sekali muncul dalam kelas—seolah-olah iman dan ilmu berjalan pada jalur masing-masing. Padahal, bukankah semestinya universitas Islam menjadi ruang tempat keduanya saling menguatkan?

Di Indonesia, negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, fenomena sekularisme terasa cukup unik. Banyak universitas Islam yang secara resmi mengusung label keislaman, namun dalam praktik akademiknya belum sepenuhnya mencerminkan penyatuan antara ilmu pengetahuan dan agama. Mahasiswa memang didorong untuk berpikir kritis dan mandiri, tetapi sering kali tak dibarengi dengan pembinaan moral dan spiritualitas yang kuat.

Hal ini memicu pertanyaan: apa yang membedakan antara universitas Islam dengan universitas umum apabila nilai-nilai Islam tidak terlihat dalam sistem pendidikan, budaya kampus, dan orientasi keilmuannya? Sekularisasi bukan sepenuhnya harus ditolak. Ia juga membawa nilai positif seperti objektivitas, kebebasan berpikir, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Namun universitas Islam harus mampu menyikapinya secara bijak.

Tugas universitas Islam bukanlah menghindari modernitas, melainkan mengintegrasikannya dengan nilai-nilai keislaman secara kreatif. Kurikulum seharusnya disusun sedemikian rupa agar ajaran Islam tidak hanya terbatas pada mata kuliah agama, tetapi juga hadir dalam berbagai bidang studi. Seperti yang ditegaskan oleh Syekh Muhammad Naquib Al Attas, “Tujuan utama pendidikan adalah membentuk manusia yang beradab, bukan hanya manusia yang cerdas.”

Tentu, upaya ini tidak bisa dibebankan kepada dosen atau kampus semata. Diperlukan kerja sama yang erat antara akademisi, ulama, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga kokoh secara spiritual.

Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa, “Modernisasi bukanlah sekularisasi, tetapi rasionalitas. Dan Islam sangat mendukung rasionalitas yang bertanggung jawab secara moral.” Dunia Islam tidak perlu memusuhi kemajuan, tetapi perlu menempatkan akal dan ilmu dalam bingkai etika dan tauhid.

Kini universitas Islam berada di titik persimpangan: antara menjaga identitas keislaman atau mengikuti arus perkembangan zaman. Namun  sebenarnya, keduanya tidak perlu dipertentangkan. Justru inilah saat yang tepat untuk menunjukkan bahwa keimanan dan ilmu pengetahuan bisa berjalan beriringan, saling menguatkan, bukan saling menegasikan.

Melalui pendekatan integratif yang menyeluruh, universitas Islam dapat melahirkan generasi yang tidak hanya unggul dalam akademik, tetapi juga kokoh secara moral dan spiritual. Generasi seperti inilah yang tak hanya siap bersaing di dunia global, tetapi juga mampu membawa cahaya nilai dalam kegelapan zaman.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan