Menjadi Ikhlas Menurut al-Ghazali

9,064 kali dibaca

Ikhlas adalah salah satu kata yang seringkali terselip di antara lantunan nasihat maupun pepatah, agar kita senantiasa ikhlas dan sabar dalam menjalani hidup, untuk memperoleh keberkahan hidup. Banyak yang sering mendapat nasihat untuk bersikap ikhlas. Tak sedikit pula di antara kita pernah berberucap “saya telah ikhlas atas apa yang terjadi”. Namun pada kenyatannnya tidak begitu, hal tersebut acap kali menjadi sebuah angin lalu.

Mengapa begitu? Karena, pada kenyataanya apa yang terucap dengan apa terlihat berbeda. Ikhlas akhirnya menjadi yang amat gampang untuk diucapkan, namun sulit untuk dilakukan.

Advertisements

Apa sebenarnya hakikat ikhlas ini? Kita akan meninjau perkara ikhlas ini sebagaimana yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali, ulama besar ini yang dikagumi oleh para ulama dan kaum muslimin karena keilmuannya.

Selama hidupnya, ulama besar bernama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad At-Thusi ini dikenal sebagai seorang ahli teologi atau kalam dan seorang filosof besar. Ia juga terkenal sebagai seorang ulama fikih dan tasawuf pada zamannya. Karya besarnya adalah kitab Ihya Ulumuddin. Karena keilmuannya, al-Ghazali mendapat gelar hujjatul islam, yang artinya bukti kebenaran.

Menurut Imam al-Ghazali, ikhlas dapat berarti sebuah maksud yang hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan dengan tujuan taqqorub kepada-Nya, serta mengesampingkan hal-hal selain Allah, baik berupa penghormatan, pujian, atau pun pandangan baik dari orang lain terhadap dirinya. Bahkan, menurut pandangannya, ikhlas dapat dikatakan sebagai kemurnian,  menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan makhluk lain.

Keikhlasan sangatlah penting dan dapat berpengaruh pada aspek fisik dan psikis, karena ikhlas merupakan niatan yang murni untuk awal seseorang melakukan sesuatu hal yang akan menunjukkan ke mana arah amalan yang akan dilakukan; melibatkan tujuan akhirat atau hanya untuk tujuan duniawi semata.

Nabi Muhammad pernah ditanya mengenai ikhlas, dan kemudian Nabi bersabda yang artinya:

Aku bertanya kepada Jibril AS tentang ikhlas, apakah ikhlas itu? Lalu Jibril berkata, “Aku bertanya kepada Tuhan yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya?” Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjawab, “Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Kucintai”. (HR. Al-Qazwini, riwayat dari Hudzaifah).

Kemudian, dari Ummah ra mengatakan, bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan kemudian bertanya, “Apakah pendapat Tuan tentang seseorang yang berperang dengan tujuan mencari pahala dan popularitas diri, dan kelak apa yang akan dia peroleh?” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa!” Pertanyaan yang sama diulang sebanyak tiga kali, namun jawaban Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tetap sama, “Dia tidak menerima apa-apa!” Lalu Nabi bersabda yang artinya; Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan hanya mengharap rida dari Allah.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i).

Dengan demikian, hakikat ikhlas adalah mendekatkan diri kepada Allah dari segala bentuk ketidakmurnian. Maksud ketidakmurniaan adalah segala niatan yang tidak ditujukan kepada Allah, semisal niat karena ingin dipuji orang lain, atau niat ingin mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Seseorang, jika ia meniatkan segala sesuatu dengan hanya satu niat selain Allah, maka bisa disebut ikhlas tetapi bukan ikhlas karena Allah taala semata.

Berdasarkan uraian mengenai bab ikhlas dari Kitab Ihya Ulumuddin karangan al-Ghazali (Qalami, 2003), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keikhlasan seseorang. Pertama, pengetahuan. Keikhlasan akan sangat mudah diucapkan tetapi sukar untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, karena banyak yang harus diperangi, terutama memerangi kebutaan ilmu. Dengan kata lain, ikhlas tidak akan terwujud dengan minimnya pemahaman dan pengetahuan tentang hakikat ikhlas itu sendiri.

Kedua, nafsu. Hawa nafsu adalah salah satu potensi yang ada dalam diri manusia yang cenderung untuk mengajak mausia pada kesenangan badaniah, pemuasan syahwat, dan keinginan keinginan rendah lainnya. Sebagimana diterangkan Allah dalam Q.S. Yusuf:53

۞ وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”

Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa salah satu yang mempengaruhi keikhlasan adalah dorongan dari hawa nafsu. Apabila kekuatan dorongan keagamaan sama kuat dengan kekuatan dorongan nafsu, maka keduanya gugur dan amal tersebut tidak menghasilkan pahala dan tidak mengakibatkan dosa. Akan tetapi, apabila kekuatan dorongannya riya atau hal lain yang lebih kuat maka amal itu tidak berguna, justru berbahaya dan bisa mendapat hukuman.

Ketiga, tipu daya iblis. Seseorang yang sudah tertanam dan mengakar sikap ikhlas dalam dirinya niscaya tidak akan sanggup ditembus pertahanan imannya oleh iblis. Hal ini pun diakui oleh iblis sebagaimana terdapat pada Q.S. Al-Hijr: 39-40,

إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ ٱلْمُخْلَصِينَإقَالَ رَبِّ بِمَآ أَغْوَيْتَنِى لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

Artinya: Iblis berkata, “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.”

Ayat tersebut merupakan penggalan kisah Nabi Adam AS dan pembangkangan pertama yang dilakukan oleh iblis terhadap Allah. Mereka adalah hamba Allah yang membangkang, durhaka, ingkar, sombong, dan terkutuk yang diberi umur panjang, karena permintaan mereka hingga mendekati hari kiamat. Mereka ingin menyesatkan semua umat manusia untuk diajak ke neraka dengan bujuk rayu. Maka, berdasarkan ayat tersebut, hanya orang-orang yang ikhlas dan dapat mengendalikan nafsunya yang tidak akan dapat digoda oleh iblis dan sekutunya.

Keempat, ketenangan batin. Apabila seseorang beraktivitas dengan khlas dan khusyuk hanya karena Allah, maka dalam kondisi apa pun akan tercermin ketenangan dan kejernihan baik dari sikap, wajahnya, maupun hatinya.

Begitulah orang yang telah mencapai level ikhlas.

Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan