Mengkonstruksi Keilmuan dengan Wajah Lokal

953 kali dibaca

Diskursus “filsafat Indonesia” memang masih dalam ruang antinomi. Saya agak tertarik dengan isu konstruksi keilmuan kategori filsafat Indonesia yang hingga saat ini menjadi wacana kontroversial di tengah lingkaran akademisi filsafat di Indonesia. Hal yang menarik dari diskusi filsafat itu adalah adanya usaha kembali merumuskan kategori keilmuan baru dalam dunia filsafat.

Ide yang membawa pada ruang polemik itu sebenarnya sederhana: adanya usaha untuk mengkualifikasi filsafat dengan wajah kelokalan. Ide itu muncul dari Banin D. Sukmono dalam sebuah literatur dengan tajuk “Membangun Filsafat Indonesia” yang dimuat di antinomi.org (04/10/2021) dan tulisan Saras Dewi di Harian Kompas (02/10/2021) “Menjalin Filsafat Indonesia”.

Advertisements

Dalam ungkapan literalnya, Saras Dewi menyatakan, “Gagasan Filsafat Indonesia mengendap di dalam ekspresi-ekspresi berkesenian: tarian, kidung, pahatan, yang brilian dan tidak saja indah, tapi juga memiliki kemanjuran sosial”. Atau Banin yang dalam esainya mengungkapkan bahwa, “Dari pada mencari filsafat Indonesia, sudah saatnya kita membangun filsafat Indonesia dengan cara berkontribusi di perdebatan filsafat kontemporer dan menyelesaikan masalah filsafat di dalamnya”.

Ungkapan di atas menjukkan adanya tendensi dan semangat pemikiran kontemporer dari dua akademisi tersebut yang muncul akibat adanya renungan eksploratif secara mendalam terhadap kebudayaan di masa lalu. Tampaknya secara implisit ada usaha “pemberontakan” untuk melepaskan esensialis keilmuan dari ikatan kontinental “hegemoni barat” yang secara eksis menjadi kiblat peradaban keilmuan hingga saat ini. Sehingga ada imperatif etik yang menggerakkan naluri berpikir untuk menemukan rumusan nilai filosofis yang termaktub dalam kebudayaan masyarakat di masa lalu.

Di sini saya tidak akan ikut campur memberikan komentar dalam polemik yang berlangsung panas di antara akademisi filsafat. Saya hanya berusaha menghadirkan sebuah dilema keilmuan ketika berada dalam diferensiasi ruang geografis. Suatu disiplin ilmu pasti memiliki sanad geografis sebagai haluan orientasi keilmuan itu sendiri. Namun, ketika bergerak pada pembahasan yang lebih lanjut di mana keilmuan itu menemukan ruangnya, “idealis-realis” polemik akan selalu hadir di sana. Persilangan pendapat akan muncul: apakah mempurifikasi teori secara mutlak tanpa tawar-menawar atau mereinterpretasi dalam ruang yang lebih terbuka dan dinamis melalui komparasi keilmuan dengan ciri khasnya masing-masing.

Dogma religiusitas di Indonenia juga demikian. Permasalahan dogmatis demikian bahkan tidak jarang merambat terhadap permasalahan ideologis dan dasar tatanan kenegaraan. Islam Nusantara yang digagas oleh para pendahulu juga menjadi bagian dari usaha kualifikasi keislaman dengan wajah lokal untuk melepaskan diri dari ikatan kontinentalis kearab-araban. Beralih pada tahap pemikiran yang berkarakterkan “Filsafat  Indonesia” yang sekarang menjadi polemik (atau mungkin) ada usaha yang sama di ranah hukum dengan kategori “Hukum Posistif Nusantara” di tahap selanjutnya.

Kelokalan yang dimaksud di sini adalah ciri khas yang melekat dalam masyarakat yang ditandai dengan garis teritorial geopolitik. Refleksi kritis dan filosofis terhadap karakteristik lokal akan melahirkan ideologi yang menstandarisasi pola kehidupan dan pemenuhan bagi kebutuhan dasar kemanusiaan. Fakta empiris menyebutkan bahwa ciri khas (custumory) tidak hanya membuat produk ideologi, mematok standar perilaku dan membuat landasan imajinasi kolektif masyarakatnya. Tetapi merangkak kepada ranah yang lebih luas dalam merekonstruksi doktrin religi dan dogma teoretis suatu keilmuan.

Di satu sisi kita mungkin akan melihat adanya pergeseran pembahasan makna di mana doktrin kuat geopolitik dapat menmbatalkan bahasan esensialis ilmu. Kita seolah-olah cenderung mempermasalahkan hal yang tidak subtansial dalam hal ini. Namun, custumory, atau ‘urf dalam Islam, merupakan hasil persepsi sosial yang memberikan bingkai maknawi mendalam bagi masyakat tertentu (Beynard L., 1989). Ada kepuasan batin tersendiri jika hal itu dilaksanakan. Keberadaannya yang terus-menerus dan berlangsung lama dalam kehidupan masyarakat menunjukkan fakta sosial bahwa eksistensionalis berada dalam taraf sulit untuk diotak-atik.

Kita dapat melihat bagaimana relasi kausalitas antara kerangka teoretis dengan relevansinya secara praksis dalam dinamika sosial. Metodologi rekonstruksi keilmuan melalui kelokalan dengan demikian mungkin bisa diinternalisasi dari metode Islam dalam merespons permasalahan tradisi (‘urf) yang terjadi di tengah masyarakat. ‘Urf sebagai salah satu sumber ajaran dalam Islam berimplikasi pada univesalitas sosial secara terbuka. Bahkan secara historitas kita akan mengatakan bahwa keberadaan Islam merupakan bentuk komparasi kebudayaan terhadap budaya jahiliyah di masa lalu. Sehingga Islam hadir merestorasi kebudayaan Arab yang dipandang sudah tidak relevan dengan hakikat manusiawi melalui ajaran-ajarannya.

Namun reinterpretasi lebih lanjut mengejar kerelevansian agar diterima dalam ruang geopolitik tidak serta-merta dapat dilakukan. Dalam hal ini yang perlu menjadi patokannya adalah adanya maslahah atau kemanfaatan yang akan diperoleh jika hal demikian dilakukan. Dalam usaha mengkualifikasi “Filsafat Indonesia” yang menjadi polemik misalnya, dalam hal ini, harus ada pandangan potensial untuk kembali melacak nilai historis dan filosofis dari kebiasaan terdahulu yang tertuang dalam tradisi, rumah adat, hukum adat, makanan tradisional, atau tatanan sosio-moral masyarakat. Relavansi yang dikejar harus berpotensi memberikan kontribusi kontemporer bagi permasalahan saat ini.

Semangat konstruktif keilmuan berbasis kelokalan seperti demikian sudah layaknya mulai diagendakan. Kita yang merupakan masyarakat heterogen dengan segudang perbedaan yang maknawi cukup memiliki sanad keilmuan dan nilai filosofis yang jelas sebagai pijakan peradaban berbangsa saat ini (atau juga, bahkan) memberikan resolusi kontemporer dalam kancah internasional. Sebagai bingkai maknawi, terdapat patokan nilai dan etik-moral dengan renungan reflektif untuk kehidupan saat ini. Demikianlah konsep keilmuan di mana penafsiran lebih lanjut akan selalu terjadi ketika ilmu sudah melampaui zaman dan menembus sekat ruang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan