Mengenal Qiraat ‘Ashim Riwayat Hafsh Thoriq asy-Syathibiyah

13,005 kali dibaca

Pertama kali saya membaca buku ini, saya mengira bahwa buku ini akan membahas seputar tajwid, yang di dalamnya membahas hukum bacaan nun-mati dan tanwin yang ketika bertemu huruf-huruf hijaiyah akan melahirkan hukum bacaan tertentu. Seperti idzhar, idgham bighunnah, dan seterusnya.

Akan tetapi tidak demikian halnya dengan buku berjudul Bacaan Al-Quran dalam Riwayat Hafsh Thariq asy-Syathibiyyah yang luar biasa ini. Buku yang dirangkum oleh Dr Muhsin Salim ini jauh lebih lengkap daripada buku-buku tajwid pada umumnya. Buku ini merangkum beberapa metode pengajaran dan pembelajaran dalam ilmu tajwid

Advertisements

Saya memang belum pernah bertemu dengan Dr Muhsin Salim ini. Pun begitu, saya juga belum pernah belajar secara langsung terkait ilmu tajwid kepadanya. Saya hanya belajar kepada Kiai Edy Susanto, pengasuh Pesantren Motivator Quran Ekselensia Indonesia.

Kepada Kiai Edy, saya banyak belajar tentang qiraat ‘Ashim Riwayat Hafsh. Kiai Edy mengajarkan metode membaca Al-Quran menggunakan qiraat ‘Ashim Riwayat Hafsh,  menggunakan thariq (jalur penyebaran) asy-Syathibiyyah.

Mengapa asy-Syathibiyyah? Karena thariq asy-Syathibiyyah telah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, termasuk ke kampung-kampung halaman saya sendiri. Dari situlah saya mulai mengagumi Dr Muhsin Salim.

Buku yang baru diterbitkan di tahun 2021 ini, yaitu pada bulan Agustus lalu, menawarkan sebuah kerangka metodik tentang bagaimana cara meraih prosedur cara tahsin yang benar dalam ilmu tajwid. Metode berbeda dengan metodologi. Metodologi menjelaskan tentang metode yang digunakan dalam suatu bidang. Sementara, metode lebih kepada menjelaskan prosedur atau proses untuk mencapai suatu objek atau sasaran yang ingin dicapai. Ia berkaitan dengan prosedur sistematis, teknik, atau penelitian yang dilakukan sedemikian rupa supaya sesuai dengan disiplin atau seni tertentu (Prof. Fred L. Benu dan Prof. Agus S. Benu, 2019: v)

Dengan demikian, Dr Muhsin Salim melalui bukunya ini hendak menghadirkan tentang seperangkat konsep prosedural yang dilakukan untuk menghasilkan objek atau sasaran yang dituju. Artinya, dengan membaca buku Dr Muhsin Salim ini, kita akan lebih dikenalkan dengan beberapa objek atau sasaran dari ilmu tajwid itu sendiri.

Adapun, sasaran yang hendak dicapai adalah mengenal Allah secara dekat. Dimulai dari penjelasan dengan memperkenalkan unsur-unsur qiraat (bacaan Al-Quran yang dinisbatkan kepada imam-imam qiraat), riwayat (bacaan Al-Quran yang dinisbatkan kepada para rawi), dan thoriq (jalur penyebaran cara baca rawi yang disampaikan para ulama ke seluruh penjuru dunia Islam) serta khilaf (perbedaan cara baca masing-masing imam, rawi dan rowi (hal. ix). Menurut Dr Muhsin, dengan mengetahui seperangkat metode ini, maka akan mengantarkan kita untuk meraih hati nurani yang indah penuh kekuatan seiring dengan isi petunjuk Al-Quran.

Membaca Al-Quran dengan tajwid menjadi sebuah keharusan, bahkan ada yang mengatakan wajib. Barang siapa yang tidak menggunakan tajwid dalam membacanya, maka orang tersebut bahkan sampai ada yang menghukumi sebagai dosa besar. Bacaan Al-Quran yang baik, apalagi dibaca dengan tartil lagi benar, maka akan membantu merangsang setiap pembacanya untuk melakukan tadabbur (perenungan) ayat yang dibaca.

Sangat banyak yang belum mengerti dan memahami pentingnya pembacaan Al-Quran dengan standar bacaan yang baik dan benar. Standarisasi inilah yang disebut dengan ilmu tajwid. Kesalahan-kesalahan dalam membaca Al-Quran terkadang bisa saja terjadi tidak hanya di sebuah lembaga, yang di dalamnya terdapat pelajar dan penghafal yang mempelajari Al-Quran. Kesulitan-kesulitan dalam membaca Al-Quran ini pun bahkan terkadang terjadi karena lidah orang suatu budaya beda dengan budaya lainnya. Karena perbedaan suatu budaya ini menekankan pentingnya memahami ilmu tajwid.

Di Andalusia, misalnya, ketika mengucapkan “Wad-duha” menjadi “Wad-duhe”. Di Turki, “Mustaqiim” menjadi “Mustaqiin”. Di Padang berubah lagi, kalimat “Lakanuud” menjadi “Lakanuik”. Sampai di Jawa, “Al-hamdu: jadinya “ngalkamdu”.

Kenapa begitu, kata Gus Muwafiq, karena lidah satu orang dengan lidah orang lain di masing-masing daerah berbeda. Di sinilah penting adanya standarisasi pembacaan Al-Quran biar benar. Selain itu, dengan menggunakan standar  bacaan Al-Quran yang baik dan benar, dapat meninggikan derajat keimanan seseorang baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim seperti yang tersebut dalam hadis Arbain Nawawiyyah:

“Akan dikatakan kepada Ahli Quran pada hari kiamat: “Bacalah, naiklah (ke atas surga) dan bacalah dengan tartil sebagaimana kami dulu pernah membacanya di dunia. Karena sesungguhnya kedudukanmu di surga terdapat pada akhir ayat yang kamu baca.”

Dengan demikian, bagaimana kita akan menaiki tangga di surga kelak sementara bacaan kita berantakan? Maka, di sinilah salah satu pentingnya mempelajari buku luar biasa yang ditulis oleh salah satu pakar qiraat dan dosen di IIQ Jakarta ini. Kehadiran buku ini akan membantu kita dengan mudah memahami kesulitan dalam ilmu tajwid. Begitupun dengan para guru Al-Quran. Dengan membacanya dan memilikinya, akan semakin terbantu dengan kehadirannya untuk menjelaskan kepada para murid terkait kekeliruan dalam membaca Al-Quran yang selama ini tidak disadari secara turun-temurun.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan