Mengenal Kitab Tajwid (1): Hidāyah al-Mustafīd fī ‘Ilm at-Tajwīd

2,865 kali dibaca

Ditinjau dari aspek tata cara membaca Al-Qur’an, Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya menganut mazhab qiraat ‘Āṣim riwayat Ḥafṣ. Maklum jika lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia mengajarkan peserta didiknya membaca Al-Qur’an sesuai dengan kaidah bacaan versi qiraat ‘Āṣim riwayat Ḥafṣ.

Karena itu, untuk mempermudah kegiatan belajar-mengajar, para ustaz berupaya mencarikan kitab-kitab tajwid yang relevan dengan kapasitas intelektual peserta didiknya. Di antara kitab-kitab tajwid yang dipilih dan digunakan sebagai bahan ajar di lembaga pendidikan Islam di Indonesia adalah kitab Hidāyah al-Mustafīd fī ‘Ilm at-Tajwīd. Berikut pengenalan terhadap kitab Hidāyah al-Mustafīd fī ‘Ilm at-Tajwīd karya Muḥammad al-Maḥmūd al-Najjār.

Advertisements

Profil al-Najjār

Hidāyah al-Mustafīd fī ‘Ilm at-Tajwīd merupakan karya dari sosok ulama yang masyhur dengan julukan Abū Rimah. Beliau tidak lain adalah Muḥammad al-Maḥmūd al-Najjār. Rekam jejak kehidupannya sukar dilacak di sejumlah literatur disiplin ilmu qiraat dan kitab-kitab ensiklopedia biografi ulama.

Namun, di luar sulitnya eksplorasi itu, telah ditemukan nama salah seorang ulama yang dimungkinkan mirip—baik dari aspek nama “al-Najjār” maupun kompetensi bidang keilmuannya—dengan Muḥammad al-Maḥmūd al-Najjār, yakni Muḥammad bin Aḥmad bin Dāwūd al-Dimsyiqī yang familiar dengan sebutan Ibn al-Najjār (w. 870/1466). Informasi ini ditemukan dalam kitab Mu’jam al-Mu`allifīn: Tarājim Muṣannifī al-Kutub al-‘Arabiyyah.

‘Umar Ridhā Kaḥḥālah yang tak lain adalah penulis kitab Mu’jam al-Mu`allifīn menginformasikan bahwa Ibn al-Najjār (Muḥammad bin Aḥmad bin Dāwūd al-Dimsyiqī) merupakan ulama ahli qiraat yang produktif menulis karya-karya ilmiah.

Di antara karyanya adalah Syarḥ ‘alā Bāb Waqf Ḥamzah wa Hisyām. Namun, saya tidak berani mengklaim bahwa Ibn al-Najjār sebagaimana yang disebutkan ‘Umar Ridhā Kaḥḥālah adalah Ibn al-Najjār (Muḥammad al-Maḥmūd al-Najjār) penulis kitab Hidāyah al-Mustafīd fī ‘Ilm at-Tajwīd. Jadi, pelacakan identitas ini masih diambang batas ambiguitas.

Tidak dapat dimungkiri, meski riwayat kehidupan Muḥammad al-Maḥmūd al-Najjār tidak ada yang menarasikan di panggung sejarah, namun dedikasinya dalam khazanah keilmuan Islam tak lagi terbantahkan. Kerja kerasnya dalam mencerdaskan generasi Qur’ani akan terus mengalir pahalanya tanpa henti. Sepanjang kitab Hidāyah al-Mustafīd fī ‘Ilm at-Tajwīd terus dipelajari dari generasi ke generasi.

Sistematika Penulisan

Muḥammad al-Maḥmūd al-Najjār secara eksplisit menyebutkan dalam mukadimahnya bahwa latar belakang penulisan Hidāyah al-Mustafīd fī ‘Ilm at-Tajwīd berangkat dari rasa perhatian beliau yang amat besar bagi pendidikan anak di bidang seni membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Kecintaan beliau terhadap pendidikan anak terbukti dari karya-karyanya baik di bidang akhlak, tauhid, tajwid, maupun fikih, yang rata-rata diformat sasaran pembacanya adalah anak-anak (pelajar pemula).

Di samping itu, motivasi lain yang mendorong Muḥammad al-Maḥmūd al-Najjār untuk menulis kitab tajwidnya tersebut adalah anggapan kuat yang timbul dari hati beliau yang amat dalam bahwa ilmu tajwid merupakan salah satu disiplin ilmu yang sangat penting bagi pelajar pemula yang ingin mempelajari Al-Qur’an dan mengindahkan etika berkomunikasi dengan Rabbnya melalui kalam-kalam suci-Nya.

Kehadiran Hidāyah al-Mustafīd fī ‘Ilm at-Tajwīd sangatlah strategis dan berfungsi sebagai alternatif di tengah langkanya kitab-kitab tajwid dalam khazanah keislaman. Kalau pun ada, tampaknya susah untuk dipahami pelajar Al-Qur’an pemula yang masih berusia anak-anak.

Alasan-alasan itulah yang membuat Muḥammad al-Maḥmūd al-Najjār memutuskan untuk menyusun kitab tajwid yang materinya secara khusus didesain untuk kebutuhan anak-anak (pelajar pemula).

Adapaun sistematika penulisan yang diterapkan Muḥammad al-Maḥmūd al-Najjār dalam menyusun Hidāyah al-Mustafīd fī ‘Ilm at-Tajwīd dapat dipetakan ke dalam tiga bagian:

  1. Mukadimah, berisi tentang informasi mengenai latar belakang penyusunan kitab.
  2. Pembahasan, memuat topik inti yang terdiri dari lima belas pasal, yakni: Hukum Bacaan Isti’ādzah dan Basmalah, Hukum Nūn Sākinah dan Tanwīn, Hukum Mīm Sākinah, Hukum Mīm Tasydīd dan Nūn Tasydīd, Hukum “al-” al-Qamariyah dan “al-” al-Syamsiyyah, Hukum Lām dalam Fi’il, Hukum Idzghām, Hukum Madd dan Macam-macamnya, Hukum Rā`, Penjelasan Qalqalah, Penjelasan Makhārij al-Ḥurūf, Penjelasan Sifat-sifat Huruf, Penjelasan Macam-macam Waqaf, Penjelasan Hal-hal Inovatif yang Haram, dan Penjelasan Terkait Bacaan Takbir.
  3. Penutup, mendeskripsikan fenomena tradisi ulama salaf setelah mengkhatamkan al-Qur’an.

Itulah gambaran mendasar mengenai motivasi dan sistematika penulisan Hidāyah al-Mustafīd fī ‘Ilm at-Tajwīd yang diterapkan oleh Muḥammad al-Maḥmūd al-Najjār.

Substansi Pembahasan

Isi materi pembahasan yang termaktub di dalam Hidāyah al-Mustafīd fī ‘Ilm at-Tajwīd seluruhnya ditulis berdasarkan mazhab qiraat ‘Āṣim riwayat Ḥafṣ. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Muḥammad al-Maḥmūd al-Najjār sendiri dalam mukadimah kitabnya, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bunyinya seperti berikut:

“Keberadaan kitab-kitab tajwid sulit didapatkan. (Andaikan ada, kitab tajwid yang beredar) rata-rata sulit dipahami oleh anak-anak. Sebab, semangat mereka (untuk belajar) masih sangat rendah. Memang tidaklah aneh, sebab orang yang tidak jelas penglihatannya bisa terpeleset karena adanya debu yang berkeliaran ke udara, dan anak yang masih kecil bisa tersedak karena air susu yang memancar terlalu deras. Oleh karena itu, terlintas dalam pikiranku untuk menyusun kitab kecil dan sederhana tentang ilmu tajwid berdasarkan riwayat Ḥafṣ dengan merujuk pada beberapa kitab ulama salaf dan khalaf. Kitab ini saya susun dengan model tanya jawab agar mudah dihafal dan dipahami.”

Bukti konkret nuansa qiraat ‘Āṣim riwayat Ḥafṣ tharīq Syāṭibiyyah tampak saat Muḥammad al-Maḥmūd al-Najjār mengulas kaidah bacaan saktah (diam sejenak tanpa napas kemudian melanjutkan redaksi ayat sesudahnya). Tentu ini menjadi mayoritas bacaan Al-Qur’an umat Islam di Indonesia. Berikut contoh redaksi yang termaktub. Al-Najjār mengemukakan bahwa bacaan saktah ada di empat tempat, yakni: Q.S. al-Kahf/18:1-2: wa lam yaj’al lahu ‘iwajan-qayyiman; Q.S. Yāsin/38:52: man ba’atsanā min marqadinā-hādzā; Q.S. al-Qiyāmah: wa qīla man-rāq/75:27; Q.S. al-Muṭaffifīn/83:14: kallā bal-rān.

Kitab Hidāyah al-Mustafīd fī ‘Ilm at-Tajwīd pertama kali saya pelajari saat masih duduk di bangku madrasah diniyyah Nahdlotul Mubtadi’in, Bojonegoro. Sepanjang proses pembelajaran, saya merasakan bahwa kitab ini mudah dipahami. Apalagi yang mengampu pada waktu itu adalah kiai yang sangat berkompeten, yakni Kiai Muhammad Fahim Asy’ari, alumnus PP Ma’hadul Ulum asy-Syar’iyyah, Sarang, Rembang. Hal ini semakin menjadikan mudah dalam proses memahami materi-materi yang termaktub dan yang disampaikan secara lisan.

Kemudahan semakin bertambah-tambah lantaran kitab yang dikarang oleh Abu Rimah tersebut diformat dengan model tanya jawab. Membaca kitab ini seakan-akan saya seperti membaca hasil keputusan bahtsul masail. Masalah-masalah seputar tata cara membaca Al-Qur’an sebagian besar dapat ditemukan jawabannya di dalam kitab Hidāyah al-Mustafīd. Oleh karena itu, kitab ini bernilai sangat membantu mempermudah para pelajar pemula yang ingin bisa dan memahami kaidah-kaidah membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan