Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Di halaman kampus, para wisudawan berjalan anggun mengenakan toga hitam, wajah-wajah berseri mengembang di antara bunga dan gawai yang sibuk mengabadikan momen. Namun, di balik kemeriahan itu, saya justru terduduk diam dalam hati: sebenarnya, apa yang sedang kita rayakan hari ini?
Apakah momen kelulusan adalah puncak dari pendidikan? Apakah deretan nilai pada transkrip itu cukup mewakili hasil jerih payah bertahun-tahun? Ataukah toga dan ijazah hanya simbol—sementara kita lupa menggenggam hakikat dari proses menuntut ilmu itu sendiri?

Sebagai santri, saya tumbuh dengan pemahaman bahwa pendidikan bukan sekadar mengejar angka atau gelar, tetapi mendewasakan jiwa. Di Pesantren Al-Amanah Al-Gontory, saya menyaksikan para kiai dan ustaz mengajarkan makna ilmu bukan melalui diktat atau presentasi PowerPoint, melainkan lewat keteladanan. Ilmu tidak dibanggakan, tapi dihayati. Tidak dipamerkan, tapi diamalkan.
Namun dunia kampus—dan dunia pendidikan modern secara umum—terkadang justru menghadirkan suasana yang berbeda. Kita dituntut untuk cepat, unggul, berprestasi, dan diakui. Kita merayakan pencapaian akademik, namun sering lupa bertanya: apakah capaian itu sejalan dengan integritas? Apakah kecerdasan yang kita miliki dibarengi dengan kepekaan sosial, empati, dan adab?
Saya teringat satu malam saat menjelang kelulusan dari pesantren, salah satu guru saya berkata lirih. Kalimatnya sederhana, tapi begitu dalam. Sebab sejatinya, ilmu yang hakiki adalah yang melunakkan hati, bukan meninggikan kepala.
Sayangnya, dalam atmosfer pendidikan hari ini, kita lebih sibuk memburu validasi eksternal: ranking, akreditasi, medali, dan selempang. Kita tidak lagi terlalu peduli pada proses menjadi manusia yang seutuhnya. Padahal, betapa banyak orang berilmu tinggi tapi miskin empati. Betapa banyak gelar berserakan tapi adab terkikis.
Hari ini kita rayakan wisuda. Tapi apa yang benar-benar kita rayakan? Apakah hanya transkrip nilai? Apakah sekadar lolos sidang skripsi? Atau sudahkah kita mensyukuri kesabaran saat bergelut dengan diri sendiri, mengalahkan malas, mengelola kecewa, hingga tetap teguh saat gagal?
Kelulusan seharusnya menjadi titik hening, bukan hanya titik puncak. Titik di mana kita merenung, mengoreksi, dan menetapkan arah: untuk apa ilmu ini nanti digunakan? Siapa yang akan kita bantu? Masih adakah rasa gentar dalam hati bahwa kelak ilmu ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah?
Toga bisa dibeli. Ijazah bisa dicetak. Tapi adab dan keikhlasan tidak bisa dibentuk dalam sehari. Mereka ditempa oleh perjalanan panjang—yang mungkin tidak selalu tercatat dalam nilai, tapi pasti tercatat di langit.
Maka hari ini, jika engkau lulus, jangan hanya rayakan dengan bunga dan foto. Rayakan dengan doa, dengan niat yang diperbarui, dan dengan tanggung jawab yang lebih besar. Bukan hanya karena engkau telah “jadi sarjana”, tapi karena engkau telah diberi amanah baru oleh Allah: untuk menebar manfaat, menjaga akhlak, dan terus belajar meski tanpa kelas.
Sebab, pada akhirnya, bukan toga yang akan dikenang, tapi amal yang akan ditimbang.