Di TikTok, jutaan anak muda menghafal lewat lagu. Rumus fisika dijadikan jingle. Sejarah perang dunia dilantunkan seperti selawat. Anak-anak yang tak tahan duduk lima menit di kelas, tiba-tiba bisa membaca 30 ayat Al-Qur’an dalam format reels berdurasi satu menit. Fenomena itu menunjukkan, di dunia ini, irama bukan sekadar hiburan. Ia adalah cara mengingat, memahami, bahkan mencintai sesuatu.
Cara itu bukan hal baru. Pesantren telah lebih dulu mengenalnya. Kita menyebutnya nazam. Dari Jurumiyah sampai Alfiyah, dari tauhid sampai akhlak, semua telah lama dibungkus dalam nada.

Tapi entah sejak kapan, sebagian dari kita mulai menganggap bahwa belajar dengan lagu itu ringan, bahkan tak serius. Seolah ilmu hanya sah jika disampaikan dengan suara keras dan jidat berkerut.
Saya masih ingat saat mencoba mengajar tashrif fi’il dengan lagu. Saya rangkai pola-pola kata kerja Arab dalam irama sederhana, dan meminta santri-santri kecil menyanyikannya bersama. Awalnya mereka tertawa, mungkin karena terdengar aneh. Tapi seminggu kemudian, mereka bisa menyebut bentuk-bentuk kata kerja itu tanpa melihat catatan. Lagu itu mereka gumamkan saat menyapu halaman, menjemur sarung, bahkan saat menunggu giliran mandi.
Lagu membuat hafalan menyelinap pelan-pelan ke dalam pikiran. Ia tidak memaksa. Ia tidak menekan. Tapi justru karena itulah ia bertahan. Lagu menciptakan ruang belajar yang lembut, yang menyentuh bukan hanya kepala, tapi juga hati. Dan hati yang disentuh adalah gerbang pertama bagi ilmu yang benar-benar tinggal.
Di dunia pendidikan modern, lagu telah lama digunakan sebagai metode. Alphabet song di Barat, video pembelajaran bernada di YouTube, atau jingle-jingle edukatif di TikTok semuanya membuktikan bahwa belajar dengan lagu bukan metode kelas dua. Justru, di zaman yang serba cepat ini, lagu adalah jembatan penting antara ingatan dan makna.
Tapi pesantren sebenarnya tak ketinggalan. Sejak dulu, para ulama menulis kitab dalam bentuk syair, bukan karena ingin puitis semata, tapi karena sadar bahwa irama memudahkan hafalan. Nazam adalah warisan ulama yang memadukan ilmu dan seni suara.
Saya pernah menyaksikan seorang santri membawakan lagu religi di malam perpisahan pondok. Lagu itu bukan hanya nyanyian, tapi seolah doa. Liriknya menyentuh hati, membuat hadirin diam dan menangis. Saat itu saya sadar, lagu bisa menjadi ruang tafakur. Ia menyampaikan rasa yang tak terucap. Kadang, lagu lebih mampu mengajarkan adab daripada seribu nasihat.
Dalam dunia tasawuf, lagu bukan hal asing. Samā’, majelis mendengarkan nyanyian rohani, telah menjadi bagian dari praktik spiritual para sufi. Lagu menjadi jembatan menuju perenungan, bahkan penyucian jiwa. Maka apakah aneh jika kita menggunakannya juga dalam proses pendidikan?
Tentu saja, tidak semua lagu patut masuk ruang pesantren. Lagu yang kita pilih harus bersih dari kata yang melalaikan, nada yang membangkitkan syahwat, atau makna yang merusak iman. Tapi menutup pintu sama sekali hanya karena takut disalahgunakan, bukanlah pilihan yang bijak. Kita perlu selektif, bukan reaktif. Kita perlu panduan, bukan penolakan total.
Bayangkan jika kitab-kitab akhlak dibuat dalam versi nyanyian, atau hafalan hadis dirapikan dalam format lagu, atau pelajaran nahu dijadikan paduan suara. Bukan untuk menggantikan talaqqi dan halaqah, tapi untuk memperkuatnya. Lagu tidak akan menggantikan guru. Tapi ia bisa menjadi teman yang menuntun santri menghafal dengan gembira, bukan terpaksa.
Di era yang serba cepat ini, anak-anak belajar dari layar lebih sering daripada dari lembaran buku. Lagu menjadi bahasa mereka. Maka pesantren perlu lentur dalam menyambut cara-cara baru, tanpa harus meninggalkan prinsip dan tradisi. Lagu bisa menjadi sarana menjaga makna-makna lama tetap hidup di hati para santri muda.
Karena sejatinya, lagu hanyalah wadah. Isinya bisa kosong, bisa bising, tapi bisa juga penuh ilmu dan zikir.
Dan siapa tahu, justru lewat nada-nada yang terdengar remeh itu, Allah sedang menanamkan ilmu yang menetap lebih lama di dalam dada.
Saya setuju lagu dan nada itu bagaikan mata pisau. Tergantung bagaimana benda itu diguakan. Jika digunakan untuk kebaikan maka pisau itu berbuah baik, dan demikian sebaliknya. Lagau dan nada bagaikan kita berbicara; mengeluarkan kata-kata. Tergantung bagiaman cara kata/kalimat tersebut digunakan: nasihat, motivasi, cacian, hinaan, cemoohan, dll. Begitulah, demikianlah. Saporana,,,
Betul, Yai. Semoga kita bisa menjaga tradisi bersyair dan bernyanyi di pesantren, sebagai jalan untuk menolak tradisi hari ini dengan lembut. Bukan seperti orang di sebelah yang ujug-ujug mengharamkan. Kita ubah nafasnya saja, seperti Sunan Kalijaga