Mengapa Negara Takut Pada Bendera One Piece?

Suatu hari, saat Abdurrahman Wahid masih menjabat sebagai Presiden, seorang jenderal datang dengan wajah panik ke Istana. Ia membawa kabar yang dianggap gawat: “Pak, ini serius. Di Papua mereka kibarkan Bintang Kejora!”

Gus Dur menoleh sebentar, lalu bertanya, “Ada merah putihnya enggak?”

Advertisements

“Ada, Pak. Tapi lebih tinggi.”

“Ya sudah, anggap saja itu umbul-umbul. Gitu aja kok repot.”

Ketika si jenderal bersikeras bahwa ini adalah hal berbahaya, Gus Dur hanya tertawa pendek, lalu berkata, “Pikirannya yang harus berubah. Sepak bola saja banyak benderanya!”

Kisah ini terus hidup dan dibagikan ulang, terutama di masa-masa ketika simbol mulai dipermasalahkan lebih dari isi, dan ketika negara seperti lupa bahwa rasa percaya diri adalah bagian penting dari kemerdekaan.

Kini, menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, sebuah bendera lain ikut berkibar di pelataran negeri ini. Bukan bendera Kejora. Bukan pula Sang Saka Merah Putih. Melainkan Jolly Roger, tengkorak bertopi jerami milik bajak laut Topi Jerami dari anime One Piece. Ia hadir di tiang bambu, kaca mobil, banner jalan, bahkan di belakang jaket pegawai kantoran. Di beberapa kota, Jolly Roger dan Merah Putih berkibar berdampingan seperti dua sahabat yang sedang merayakan hal yang sama, meski maknanya berbeda.

Dan seperti biasa, kegaduhan pun muncul. Di satu sisi, orang-orang menyambutnya dengan gelak tawa dan kreativitas. Di sisi lain, muncul suara-suara khawatir yang menuduh ini sebagai bentuk dekadensi nasionalisme, bentuk ketidaktahuan sejarah, bahkan dalam versi yang lebih parno, tanda ancaman budaya asing.

Tapi benarkah demikian?

Fenomena berkibarnya bendera One Piece bukan hal baru jika kita memahami cara generasi muda mengekspresikan makna simbol. Yang terjadi bukan penggantian simbol negara, melainkan ekspresi alternatif identitas. Anak-anak muda yang mengibarkan Jolly Roger tidak sedang memberontak pada Merah Putih. Mereka sedang menyatakan sesuatu yang mungkin lebih jujur bahwa semangat bajak laut Topi Jerami yang setia kawan, melawan ketidakadilan, dan mengejar mimpi tanpa tunduk pada kekuasaan busuk, lebih mereka pahami ketimbang narasi nasionalisme yang kaku dan formal.

Narasi One Piece tentang melawan “Pemerintah Dunia” yang korup dan tiranik, tentang kru kecil yang membela mereka yang tertindas, tentang mimpi pribadi yang dipertahankan sampai mati, semua itu, bagi sebagian generasi muda, jauh lebih menggerakkan daripada pidato-pidato upacara.

Kita bisa saja menyebut ini bentuk “pengalihan makna kemerdekaan”. Tapi bukankah setiap generasi berhak menafsirkan ulang makna merdeka?

Nasionalisme tidak harus selalu berwujud seragam Paskibra dan teks proklamasi. Ia juga bisa lahir dari tempat yang paling tak terduga: dalam fiksi, dalam tawa, bahkan dalam budaya populer yang lintas negara. Nasionalisme yang hidup bukan soal hafalan, tapi soal keterhubungan. Dan keterhubungan ini bisa lahir saat seorang anak muda merasa lebih dimengerti oleh cerita bajak laut fiksi daripada oleh pidato pejabat yang hanya datang setahun sekali.

Yang membuat ini menyedihkan bukan karena anak muda lebih suka One Piece. Tapi karena mereka merasa cerita bangsanya sendiri tak lagi menghibur, apalagi membela mereka.

Mereka mungkin tak akan mengibarkan Jolly Roger jika merasa impian mereka dihargai, suara mereka didengar, dan negara mereka berdiri bukan di atas retorika, tapi kasih sayang nyata. Yang berkibar di jalan-jalan bukan hanya bendera bajak laut, tapi juga keinginan tersembunyi untuk hidup dalam negeri yang terasa seperti rumah, bukan ruang tunggu yang penuh aturan tapi tanpa pelukan.

Bagi negara yang percaya diri, ini bukan ancaman. Ini adalah kesempatan untuk mendengarkan. Bahkan bisa menjadi refleksi mengapa narasi tentang bajak laut yang tak punya negara bisa terasa lebih membebaskan daripada narasi tentang tanah air yang katanya penuh cinta?

Gus Dur tak pernah panik pada bendera. Ia tahu bahwa makna tak melekat pada kain, tapi pada cara kita memperlakukannya. Ia tidak takut pada Bintang Kejora, karena ia percaya bahwa satu-satunya cara membuat Merah Putih benar-benar berkibar adalah dengan memperjuangkan rasa adil yang membuat semua orang ingin menaikkannya sendiri, tanpa paksaan, tanpa instruksi.

Demikian pula dengan Jolly Roger. Jika negara merasa terancam oleh tengkorak kartun di atas kain hitam, mungkin yang perlu diperiksa bukan benderanya, tapi rasa percaya dirinya.

Hari ini, anak muda Indonesia lebih tahu nama-nama kru Topi Jerami daripada nama-nama pahlawan nasional. Mungkin itu menyedihkan. Tapi lebih menyedihkan lagi jika kita tidak melakukan apa pun kecuali menyalahkan mereka.

Apa yang membuat Luffy dan kawan-kawannya begitu dicintai? Karena mereka tidak mencuri, tidak korupsi, tidak membiarkan temannya mati sendirian, dan tidak pernah meninggalkan siapa pun hanya karena kelas sosial atau nilai rapor.

Jika negara bisa mencontoh semangat itu, mungkin kita tak perlu lagi khawatir soal bendera karena Merah Putih akan dikibarkan dengan sukarela, bukan karena dijadwalkan.

Jadi, ketika kita melihat Jolly Roger berkibar di sebelah Merah Putih menjelang 17 Agustus nanti, jangan buru-buru marah. Jangan buru-buru menyebut itu sebagai “krisis nasionalisme.” Lihatlah sebagai isyarat, sebagai suara, sebagai pertanyaan: masihkah kita merasa merdeka? Bukan hanya secara politis, tapi juga secara batin.

Dan kalau jawabannya ragu-ragu, maka pekerjaan rumah kita belum selesai. Seperti kata Gus Dur: “Anggap saja itu umbul-umbul. Gitu aja kok repot.”

Multi-Page

One Reply to “Mengapa Negara Takut Pada Bendera One Piece?”

Tinggalkan Balasan