Menerapkan Tradisi Pesantren di Dunia Corporate

1,358 kali dibaca

Saya masih teringat memori-memori indah semasa di pondok pesantren. Meskipun sudah delapan tahun berselang, namun kebersamaan serta pelajaran penting tentang kehidupan tidak akan pernah bisa dilupakan. Salah satu memori selalu teringat adalah nasihat-nasihat dari pak kiai. Bisa dibilang, kata-katanya sangat ajaib. Seolah mampu menembus ruang dan waktu.

Dulu, pengajian rutin pak kiai selalu saya ikuti dengan rasa yang jenkel karenan membosankan. Sebab, pengajian tersebut sering dilaksanakan setiap malam minggu. Malam yang sangat ditunggu bagi seorang santri begajulan seperti saya ini.

Advertisements

Suatu ketika, saya dipaksa membatalkan janji malam mingguan di luar pondok karena peraturan pesantren mewajibkan semua santri ikut pengajian pak kiai. Dengan iming-iming hukuman berat, akhirnya saya urungkan untuk keluar pondok.

Dengan rasa jengkel dan sedikit ngantuk, suara-suara lembut pak kiai itu seolah menjadi obat penenang hati yang sedang runyam. Kata-katanya berhasil menembus gendang telinga, hingga kata-kata itu tidak keluar lagi lewat kuping kiri.

Pak kiai sedang menjelaskan hakikat seorang santri. Banyak sekali! Tapi satu hal yang saya ingat dari ceramah tersebut. Kira-kira bunyinya seperti ini.

“Dimanapun kalian berada, kalian tetaplah seorang santri”

“Santri itu ibarat cahaya lilin, bisa menjadi petunjuk di dalam lorong yang gelap”

“Keberkahan santri akan terasa setelah lulus dari pesantren”

Dan masih banyak lagi nasihat-nasihat yang tak sempat saya abadikan dalam secarik kertas. Jika saja waktu itu saya kumpulkan kata-kata mutiara itu, mungkin bisa menjadi sebuah buku pedoman hidup. Sayang, waktu itu rasa kantuk mengalahkannya.

Menjadi Pemimpin dari Pemimpin

Beberapa tahun telah berlalu, hingga suatu ketika saya menyelami dunia baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya, dunia pekerjaan. Lingkungan yang benar-benar beda membuat saya harus cepat beradaptasi agar tidak ketinggalan.

Namun, ada satu hal yang tidak saya ubah, yaitu kebiasaan selama di pesantren dulu. Misalnya, puasa senin kamis. Waktu rekan kerja mengetahui saya melakukan puasa senin dan kamis, sontak saya dibilang orang alim. Padahal, mereka tidak mengetahui jika saya sedang menekan bujet di akhir bulan.

Belum lagi, ketika saya dengan berani memimpin salat magrib berjamaah, dengan surat-surat pendek yang biasa dihafalkan di pesantren, membuat mereka segan dan menyangka saya adalah seorang ustaz.

Saya cengengesan dan cukup geli ketika seorang HRD malah cium tangan, entah itu hanya candaan atau keseriusan, yang pasti saya tertawa dalam hati. Lucu dan aneh.

Hingga suatu ketika, telepon berdering dan membuat saya kaget. Panggilan itu berasal dari direktur perusahaan tempat saya bekerja. Awalnya, ia hanya bercerita tentang istrinya yang baru saja melahirkan dan akan mengadakan syukuran di kantor.

Kaget bukan kepalang, tiba-tiba ia menyuruh saya untuk memimpin 40 lebih karyawan dalam acara syukuran tersebut. Tidak ada kesempatan untuk menolak! Acara itu rupanya akan digelar sore itu juga.

Beruntung, bacaan-bacaan tahlil dan doa yang sering dilakukan selama di pesantren masih membekas. Namun, ada satu hal yang membuat saya tercengangtiba-tiba hampir semua karyawan yang telah duduk melingkar itu memberikan saya secarik kertas berisi nama-nama keluarga dan saudaranya yang telah meninggal untuk didoakan.

Sore itu, saya menjadi seorang pemimpin dari pemimpin-pemimpin di perusahaan.

Layaknya seorang ustaz, bingkisan pasca tahlilan tiba-tiba menumpuk di meja kerja. Serta ucapan terima kasih yang tak terhitung jumlahnya.

Dalam perjalanan pulang, di tengah hiruk piuk kemacetan ibu kota, tiba-tiba pikiran saya bertamasya ke masa lalu. Teringat malam pengajian bersama pak kiai.

Seorang santri ibarat cahaya lilin di dalam lorong gelap. Meski cahayanya kecil, tapi bisa menjadi penerang untuk banyak orang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan