Menembus Ruang dan Waktu: Bercermin Pada Literasi al-Ghazali

27 views

Masih terlintas di kepala saya ucapan Imam al-Ghazali, seorang ilmuan yang wafat 1111 M. Beliau mengucapkan “Jika kamu bukan anak raja, bukan seorang anak pejabat, maka menulislah..!!!”

Ucapan yang singkat, namun penuh dengan makna. Saya belum menemukan dimana letak ucapan beliau, tertulis dalam kitab karya yang mana. Akan tetapi ucapan itu sungguh populer.

Advertisements

Sebelum lebih jauh memahami maksud ucapan tersebut, alangkah baiknya kita bertanya terlebih dahulu, bagaimana ucapan tersebut sampai kepada kita yang berada di sini dan di masa kini.

Mengingat keberadaan Imam al-Ghazali yang kehidupannya jauh dari zaman, begitupun dengan tempat tinggal, kita. Imam al-Ghazali hidup sekitar 900-an tahun lalu di Ghazalah, suatu daerah di Khurasan, Iran. Padahal, mengingat pada masanya, teknologi informasi belum secanggih era sekarang. Namun, ucapan yang beliau tuturkan pada masa itu melampaui sekat ruang dan waktu. Pertanyaannya, kok bisa?

Ternyata memang tidak dapat dimungkiri, itu semua karena kekuatan ‘menulis’. Menembus ruang dan waktu merupakan hanya sebagian dari berbagai power yang ada pada sebuah tulisan. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita, bahwa Imam al-Ghazali sejak era ratusan tahun yang lalu telah memiliki kesadaran literasi yang tinggi, bahkan sampai berkesimpulan sebagaimana ucapan yang disinggung di atas.

Imam Ghazali merupakan sosok ilmuwan muslim yang prolifik, bergelar Hujjatul Islam, memiliki banyak karya tulis mulai dari fikih, kalam, tasawuf sampai filsafat. Dengan beragam karya tersebutlah al-Ghazali dikenal oleh masyarakat dunia, tidak hanya muslim tetapi juga nonmuslim. Tidak hanya di Timur Tengah, melainkan juga di dunia Barat dan Timur, salah satunya di negara kita, Indonesia.

Al-Ghazali dikenal di Indonesia tidak hanya pada era sekarang ini, melainkan sudah beberapa ratus tahun yang lalu. Asumsi saya, sejak pertama kali Islam menginjakkan kaki di Nusantara sekitar abad ke-15 sampai 16 M. Kemungkinan besar para pendakwah Timur Tengah yang menyebarkan Islam di Nusantara membawa pemikiran al-Ghazali (juga dengan beberapa karya-karyanya).

Pemikiran-pemikirannya tertulis dalam berbagai kitab memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan kaum muslim di Indonesia. Menurut Montgomery Watt dalam dua bukunya Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali (1963) dan The Faith and Practice of al-Ghazali (1967), orang yang paling berpengaruh di Indonesia setelah Nabi saw ialah Imam al-Ghazali. Mungkin juga ada pendapat lain. Namun, realita di Indonesia memang demikian. Pemikiran-pemikiran al-Ghazali telah menembus ruang dan waktu. Sebut saja kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din misalnya, yang banyak memberi pengaruh besar dalam bidang tasawuf Islam.

Salah satu pengaruh tersebut dapat dilihat pada diri KH Shalih Darat yang meng-copy paste pemikiran al-Ghazali dalam bidang ilmu tasawuf. Singkatnya, pemikiran tasawuf al-Ghazali ialah dengan mengkombinasikan syariat sebagai jalan menuju hakikat.

Kembali pada KH Shalih Darat, dalam beberapa karya tulisnya, beliau menjadikan pemikiran al-Ghazali sebagai dasar pijakan dalam analisis kajiannya. Sebagai contoh Tafsir Fayd al-Rahman. Dalam tafsir tersebut KH Shalih Darat mendasarkan penafsirannya dengan menjadikan ayat-ayat secara tekstual sebagai penjelasan awal kemudian dilanjutkan dengan penjelasan secara isyari (batin teks). Kedua makna berkolaborasi menjadi satu dalam tafsir tersebut. Teknisnya, KH Shalih Darat menjelaskan makna literal kemudian disusul dengan makna batin teks.

Tidak hanya dalam tafsirnya, pengaruh yang nyata dapat dilihat dari usaha KH Shalih Darat yang menerjemahkan salah satu kitab al-Ghazali ke dalam bahasa Jawa, seperti Kitab Munjiyat Metik Saking Kitab Ihya’. KH Shalih Darat, dalam bidang ilmu tasawuf, dianggap sebagai penerus pemikiran tasawuf sunni ortodoks pemikiran al-Ghazali. Oleh karena keterpengaruhan ini, KH Shalih Darat dijuluki sebagai “al-Ghazali al-Shaghir” (al-Ghazali Kecil).

Kembali pada ‘power’ menulis di atas, tampak bagaimana kekuatan ‘tulisan’ mampu menjelajah ruang dan waktu. Kesadaran al-Ghazali terhadap kekuatan menulis saat itu mampu ‘membius’ orang-orang di masa kini.

Pada dasarnya, tidak terbatas pada seorang al-Ghazali. Banyak ilmuwan muslim yang kehidupannya jauh, baik dari tempat maupun zaman, yang berbeda. Para ulama klasik yang populer di masa kini sebagian besar dikenang berkat pemikiran yang tertuang dengan tinta-tinta hitam di atas lembaran kertas. Pemikiran dan nama mereka mengabadi sampai hari ini. Tulisan layaknya mesin teknologi canggih masa kini yang dapat menembus ruang dan waktu.

Kembali pada ucapan Imam al-Ghazali di atas, jika dilihat dari latar belakang dan sosio historis kehidupannya, beliau bukanlah anak seorang pejabat maupun konglomerat. Kehidupan di masa dewasanya sebagai guru besar perguruan tinggi Nizamiyah Baghdad, tidak sebanding dengan  kehidupan masa kecilnya. Bahkan ironis, ia harus dititipkan kepada seorang sufi di akhir hidup ayahnya, karena keterbatasan ekonomi dalam keluarga al-Ghazali. Ayahnya orang fakir bekerja sebagai pemintal benang. Harta warisannya tidak cukup dibagi dengan para saudaranya. Oleh karenanya, sang sufi yang diberikan amanah oleh ayahnya terpaksa mencarikan ‘beasiswa’ di dalam pencarian keilmuannya.

Hari demi hari dilalui al-Ghazali dengan thalabul ilmi, sehingga pada dewasanya memiliki banyak macam keilmuan. Beragam karya dihasilkan, mulai dari fikih, kalam, tasawuf, bahkan filsafat.

Berkat kerja kerasnya dalam membuat karya, ia semakin dikenal terkhusus oleh Khalifah Nizam al-Mulk. Perkenalan inilah yang nantinya menjadikan popularitas al-Ghazali semakin meningkat. Namun itu semua tidak terlepas dari perjuangannya dalam menuliskan bidang-bidang keilmuan yang ia kuasai. Dari langkah awal tersebutlah al-Ghazali dapat merasakan manfaat dari kegigihannya dalam dunia literasi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan