Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely– Lord Acton.
Lord Acton, sejarawan besar Inggris yang hidup pada abad ke-19 mendalilkan bahwa kekuasaan memiliki kecenderungan korup, dan kekuasaan mutlak sudah pasti korup.
Tapi, dalil Lord Acton tersebut tidak berlaku bagi dua tokoh pemimpin Islam yang diakui dan dikenang sebagai simbol keadilan dalam sejarah Islam berkat keberhasilan kepemimpinannya.
Dua tokoh tersebut sukses memberi teladan kepada para pemimpin dunia melalui tindakan dan kebijakan-kebijakannya yang nyata. Keduanya dikenal sebagai pemimpin negara yang sangat pro-rakyat. Kebetulan, nama dua tokoh tersebut sama-sama Umar. Yang pertama Umar bin Khattab dan yang terakhir Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Khathab
Umar bin Khattab merupakan khalifah kedua periode Khulafaurrasyidin setelah Abu Bakar. Kepemimpinannya dinilai paling sukses dan cemerlang sepanjang periode tersebut. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dari perluasan wilayah Islam saat itu yang mencapai Romawi dan Persia.
Pada tahun 638 M, Kota Yerusalem takluk dan menjadi salah satu wilayah kekuasaan Islam. Sang khalifah datang untuk menandantangani secara langsung perjanjian damai dengan penduduk kota. Sebuah fenomena menarik terjadi, ketika Umar memasuki kota sambil menuntun unta yang dinaiki ajudannya. Sontak peristiwa ini membuat para penduduk kota terheran-heran dan tidak percaya. Bagaimana mungkin, seorang pemimpin tertinggi negara melakukan hal demikian.
Sebelumnya, sang khalifah dan ajudan sepakat untuk menaiki unta itu secara bergantian. Saat mendekati Yerusalem, tibalah bagian ajudan menaiki unta dan Umar yang berjalan kaki menuntunnya.
Karena merasa tidak enak hati dan demi menjaga kehormatan sang khalifah, ajudan menawarkan agar sang khalifah bersedia untuk tetap menaiki unta. Namun, tawaran tersebut ditolak dengan mengatakan, “Kehormatan Islam sudah cukup bagi kita.” Ini merupakan suatu tindakan yang mencerminkan sosok pemimpin yang tidak gila hormat dan jabatan.