Menanamkan Jiwa Mendidik

1,715 kali dibaca

Dulu, saat saya masuk ke pesantren menjadi santri baru, kiai selaku khadimul ma’had mencatat nama semua santri pada buku besar yang tergeletak di atas meja tamu. Saya baru tahu beberapa tahun kemudian kala beliau bertausiah di depan para santri senior sebagai pembekalan sebelum mereka berangkat mengabdi di tengah masyarakat. Bahwa, maksud beliau menulis nama-nama santri dengan tujuan untuk menyebut nama-nama mereka di tengah rusuk malam usai tunaikan salat Tahajud.

Padahal, semua santri baru telah mengisi formulir di ruang pendaftaran, yang berarti telah mencantumkan segala identitas termasuk nama. Tetapi, beliau dengan pena basahnya masih mencatat nama santri beserta nama wali sambil menggerakkan kedua bibirnya dengan lafaz basmalah serta munajat doa berkah.

Advertisements

Sempat saya dengar pula nasihat beliau dalam acara pembekalan kepada para calon pengabdi tersebut bahwa guru atau ustaz merupakan panggilan jiwa. “Bangunkan jiwa peserta didik dengan niat tulus yang menyembul dari dalam jiwa kalian. Sebab, menjadi guru merupakan panggilan jiwa,” tutur beliau pada kesempatan itu.

Tidak lupa juga, termasuk nasihat beliau sebelum melepas mereka agar memiliki wudu sebelum mengajar. “Karena ilmu yang didapat oleh peserta didik akan berbeda antara dari guru yang mengajar dengan kondisi punya wudu dan yang tidak punya wudu,” imbuh beliau.

Hal ini berbanding lurus dengan pendapat Ahmad Faesol bahwa tidak semua yang berprofesi guru memiliki jiwa guru dan tidak semua yang berjiwa guru pekerjaannya adalah mengajar. Antara guru sebagai mata pencaharian dengan guru sebagai panggilan jiwa terbentang jarak teramat jauh.

Pekerjaan guru adalah “hardware“, sedangkan jiwa guru adalah “software“. Bekerja sebagai guru itu bungkus, sedangkan berjiwa guru itu isinya. Orang-orang yang berseragam dari pagi hingga siang di sekolah-sekolah, belum tentu jiwa yang bersemayam adalah jiwa seorang guru. Tidak menutup kemungkinan jiwanya adalah pedagang tapi pekerjaannya guru.

Begitu pun sebaliknya. Orang-orang yang pekerjaannya menjual bakso, tukang tambal ban atau kuli bangunan, ada kemungkinan jiwanya adalah jiwa seorang guru. Pekerjaannya saja yang bukan guru (Radar Madura Jawa Pos, 24 Desember 2017).

Baginya, menjadi guru itu mudah. Asalkan syarat administratif calon seorang pengajar dipenuhi, maka legalitas formal sebagai guru sudah resmi disandang. Dengan menyandang status guru, maka secara otomatis terikat dengan standart profesionalitas profesi. Mulai dari aturan pemenuhan beban mengajar, tumpukan bahan pengajaran hingga pelatihan metode mengajar.

Tapi, guru sebagai panggilan jiwa justru tidak mudah. KH Zulfa Mustofa (Wakil Ketua Umum PBNU) dalam ceramahnya di Pondok Pesantren Nurul Qarnain, Sukowono, Jember, pada 10 Oktober 2022 lalu, mengatakan, “At-thariqah ahammu minal maddah, wa ruhul ustaz ahammu minat thariqah.” Kira-kira artinya seperti ini, “Metode mengajar lebih penting dari materi pelajaran, tapi jiwa guru jauh lebih penting dari metode mengajar.”

Jika kita berbicara dengan orang lain, maka cara kita berbicara lebih penting dari apa yang kita bicarakan. Serta, niat kita dalam berbicara masih jauh lebih penting dari cara kita berbicara.

Benang merah dari maqalah yang beliau ungkap adalah penumbuhan jiwa guru, bukan profesi guru. Silakan pekerjaannya apa saja yang penting berjiwa guru. Kenapa jiwa guru yang harus ditumbuhkan? Kenapa bukan profesi guru?

Dalam tata bahasa Arab, pendidikan (tarbiyah) barasal dari kata rabba yurabbi, artinya mendidik. Mendidik tidak sama dengan mengajar. Semua guru mungkin bisa mengajar, tapi tidak semua guru mampu mendidik. Setiap guru mungkin bisa menjadi pengajar, tapi tidak setiap guru sanggup menjadi pendidik. Mendidik jauh lebih sulit ketimbang mengajar.

Untuk bisa mendidik, maka harus memiliki jiwa pendidik. Jiwa pendidik muncul dari kemampuan dan kemauan untuk mengemong, meneladani, melayani dan merangkul. Inilah jiwa guru. Sunan Ampel dalam tembang Lir Ilir menyebutnya dengan istilah “cah angon” artinya anak pengembala. Manusia yang memiliki kemampuan untuk mengembalakan (mengemong). Dengan ini, setiap kita yang berprofesi sebagai guru sudah seyogianya untuk terus fokus menumbuhkembangkan jiwa guru, bukan sekedar mengasah keterampilan mengajar.

Wallahu a‘lam bi shawab…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan