Membaca Madura yang Lain

Barangkali sudah tiba saatnya Madura yang dipahami oleh mayoritas, tidak lagi berbanding lurus dengan Madura yang dialami realitas. Hal ini kemungkinan besar dilatarbelakangi oleh sikap masyarakat Madura sendiri yang pragmatis dan terlalu legowo menerima arus westernisasi yang begitu membeludak. Akibatnya, benar kiranya jika dikatakan, bahwa Madura tidak lagi berbentuk, tidak berwujud atau lebih tepatnya Madura Telah Niskala.

Dalam wilayah pragmatisme masyarakat Madura, alam dijadikan sebagai pemenuh, pelengkap, dan eksistensinya bergantung pada keberadaan manusia. Alam tidak diapresiasi sebagai suatu entitas yang memiliki nilai intrinsiknya sendiri.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Cara berpikir demikian yang kemudian disebut dengan istilah “ekologi-dangkal”. Dalam iman ekologi dangkal, alam boleh dirawat atau dimusnahkan demi kebutuhan. Jika ekologi dangkal menjadi etika ke-alam-an orang Madura, tidak menutup kemungkinan akan melancarkan watak eksploitatif demi kepentingan yang berlipat-lipat. Nyaris seluruh tindak eksploitatif dapat merugikan banyak makhluk di Bumi.

Salah satu bukti tindak eksploitatif yang dimaksud adalah penampakan lanskap bolong bekas pertambangan yang terlihat di beberapa titik pada sepanjang pantai utara dan selatan Madura. Hal tersebut menyajikan panorama eksotis bagi para pengendara yang melintas. Kerusakan bukit kapur berarti sebuah ancaman bagi habitat flora dan fauna (hlm:39).

K. M. Faizi dalam bukunya yang berjudul Merusak Bumi Dari Meja Makan mengatakan, “Bukit kapur adalah tandon bumi terbesar yang menampung air hujan.” Jadi, menghancurkan bukit kapur berarti kematian mata air. Sementara mata air merupakan sesuatu yang paling berharga bagi seluruh makhluk di Bumi.

Bagi masyarakat Madura dengan watak pragmatisnya, menambang batu bukanlah perkara yang serius, malah menjadikan perkara ini sebagai usaha mencari nafkah untuk keluarga. Keluarga macam apa yang mau hidup di atas penderitaan bumi yang sakit. Berbahagia di atas penderitaan, berarti sebuah sikap pragmatis yang menunjukkan ketidakpedulian pada sekitar.

Sikap terlalu terbuka yang dimiliki oleh masyarakat Madura juga merupakan salah satu faktor yang menjadikan Madura niskala. Tradisi tanah sangkol pada dasarnya merupakan warisan yang sangat berharga. Tanah, bagi masyarakat Madura, sama halnya dengan orang tua pada mulanya. Karena itu menjual tanah berarti menjual orang tua (hlm: 40).

Namun, seiring perkembangan zaman, tanah tidak lagi berarti apa-apa. Mirisnya, di sepanjang pantai utara Kabupaten Sumenep, orang-orang melepas tanah sangkol kepada investor yang menyulapnya menjadi tambak udang. Satu faktor yang barangkali menjadikan Madura demikian, yakni sikap “terbuka” masyarakat Madura sendiri.

Jembatan Suramadu, sebuah akses jalan yang menghubungkan wilayah Madura dengan wilayah luar Madura, menjadi semacam lampu hijau masuknya orang asing ke wilayah Madura. Sehingga, dengan sikap terbuka orang Madura ditambah mudahnya akses masuk orang luar, menjadikan Madura lumer akan identitasnya. Tidak jarang ditemukan budaya asing bermunculan di pulau Madura ini. Bahkan mirisnya, budaya luar yang dimaksud, diterima dengan terbuka tanpa melakukan semacam penyaringan akan bagaimana dampaknya terhadap budaya Madura sendiri.

Buku karya Royyan Julian ini, di samping menyoal sikap pragmatisme masyarakat Madura, juga menyinggung beberapa tempat strategis yang berpotensi menjadi tempat wisata religi di Madura. Salah satunya adalah situs pemakaman Kiai Moko, sebuah makam orang pintar yang oleh masyarakat sekitar dikeramatkan dan disematkan sebagai bhuju’ Moko. Hanya, oleh pemerintah daerah situs makam Kiai Moko telah disia-siakan pengelolanya. (hlm:17) sehingga bhuju’ Moko jadi tak terawat dan dipenuhi semak-semak.

Buku Madura Niskala karya Royyan Julian ini adalah refleksi yang menyingkap tirai kegelisahan jati diri Madura yang kian memudar. Dengan bahasa yang puitis namun tajam, setiap narasi tidak sekadar mengisahkan, tapi juga menggugah kesadaran, menghidupkan imaji, dan mengajak para pembaca merenungi luka-luka kebudayaan yang perlahan terpinggirkan. Ini bukan sekadar buku, melainkan suara hati sebuah tanah yang mencari dirinya kembali. Wallahua’lam

Data Buku:

Judul: Madura Niskala
Penulis: Royyan Julian
Penerbit: BASA BASI
Tahun Terbit: Januari 2022
Tebal Buku: 168 hlm
ISBN: 978-623-305-260-3

Multi-Page

Tinggalkan Balasan