Barangkali sudah tiba saatnya Madura yang dipahami oleh mayoritas, tidak lagi berbanding lurus dengan Madura yang dialami realitas. Hal ini kemungkinan besar dilatarbelakangi oleh sikap masyarakat Madura sendiri yang pragmatis dan terlalu legowo menerima arus westernisasi yang begitu membeludak. Akibatnya, benar kiranya jika dikatakan, bahwa Madura tidak lagi berbentuk, tidak berwujud atau lebih tepatnya Madura Telah Niskala.
Dalam wilayah pragmatisme masyarakat Madura, alam dijadikan sebagai pemenuh, pelengkap, dan eksistensinya bergantung pada keberadaan manusia. Alam tidak diapresiasi sebagai suatu entitas yang memiliki nilai intrinsiknya sendiri.

Cara berpikir demikian yang kemudian disebut dengan istilah “ekologi-dangkal”. Dalam iman ekologi dangkal, alam boleh dirawat atau dimusnahkan demi kebutuhan. Jika ekologi dangkal menjadi etika ke-alam-an orang Madura, tidak menutup kemungkinan akan melancarkan watak eksploitatif demi kepentingan yang berlipat-lipat. Nyaris seluruh tindak eksploitatif dapat merugikan banyak makhluk di Bumi.
Salah satu bukti tindak eksploitatif yang dimaksud adalah penampakan lanskap bolong bekas pertambangan yang terlihat di beberapa titik pada sepanjang pantai utara dan selatan Madura. Hal tersebut menyajikan panorama eksotis bagi para pengendara yang melintas. Kerusakan bukit kapur berarti sebuah ancaman bagi habitat flora dan fauna (hlm:39).
K. M. Faizi dalam bukunya yang berjudul Merusak Bumi Dari Meja Makan mengatakan, “Bukit kapur adalah tandon bumi terbesar yang menampung air hujan.” Jadi, menghancurkan bukit kapur berarti kematian mata air. Sementara mata air merupakan sesuatu yang paling berharga bagi seluruh makhluk di Bumi.
Bagi masyarakat Madura dengan watak pragmatisnya, menambang batu bukanlah perkara yang serius, malah menjadikan perkara ini sebagai usaha mencari nafkah untuk keluarga. Keluarga macam apa yang mau hidup di atas penderitaan bumi yang sakit. Berbahagia di atas penderitaan, berarti sebuah sikap pragmatis yang menunjukkan ketidakpedulian pada sekitar.
Sikap terlalu terbuka yang dimiliki oleh masyarakat Madura juga merupakan salah satu faktor yang menjadikan Madura niskala. Tradisi tanah sangkol pada dasarnya merupakan warisan yang sangat berharga. Tanah, bagi masyarakat Madura, sama halnya dengan orang tua pada mulanya. Karena itu menjual tanah berarti menjual orang tua (hlm: 40).