Membaca Kembali Pendidikan: Sebuah Tafsir untuk Santri

16 views

Ada sebuah pagi yang lambat di bulan Mei, ketika bendera dipasang setengah hati dan lagu “Hymne Guru” terdengar pelan dari pengeras suara yang terdistorsi. Hari Pendidikan Nasional kembali hadir. Kita berdiri, menghafal pidato-pidato, mendengarkan jargon yang sudah berdebu. Pendidikan dibicarakan—tetapi jarang direnungkan.

Saya berpikir: di kalangan santri, di ruang-ruang yang sering diasumsikan “tradisional”, tidakkah ada kesempatan untuk membebaskan Hari Pendidikan Nasional dari sekadar upacara? Tidakkah para santri—yang di setiap kitab kuning mengakrabi kata-kata seperti ilmu, adab, ijtihad—justru paling mungkin menghidupkan pendidikan sebagai sesuatu yang lebih hidup, lebih manusiawi, lebih gelisah?

Advertisements

Pendidikan, sebagaimana dihayati Ki Hadjar Dewantara—yang namanya kini abadi dalam tanggal 2 Mei itu—bukan hanya memindahkan ilmu dari kepala ke kepala. Ia adalah pembebasan jiwa. “Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani,” katanya. Di depan memberi teladan, di tengah membangun kehendak, di belakang memberi dorongan.

Tetapi bagaimana memberi teladan, membangun kehendak, dan mendorong pertumbuhan di dunia pesantren, yang di dalam dirinya sendiri sudah ribuan tahun dihuni oleh ritus-ritus yang mapan?

Pendidikan, seperti air, harus terus bergerak. Bila ia diam, ia membusuk. Bila ia dibekukan dalam perintah, ia menjadi beban. Bila ia dihidupkan dalam pencarian, ia menjadi sungai.

Santri, dalam sejarahnya, adalah para pejalan di sungai itu. Mereka tidak hanya belajar untuk menghafal alfiyah atau menyalin tafsir jalalain. Mereka melatih ketekunan, mengasah adab, belajar berproses—semua itu bukan demi ujian, bukan demi sertifikat, tetapi demi menjadi manusia yang lebih utuh.

Hari Pendidikan Nasional, di tengah dunia santri, barangkali perlu dikembalikan ke makna itu: belajar sebagai suluk, sebagai perjalanan batin, bukan kompetisi ranking.

Untuk Apa Kita Belajar?

Mari kita mulai dengan satu pertanyaan sederhana: untuk apa santri belajar? Bukan pertanyaan apa yang dipelajari, atau bagaimana caranya belajar, tetapi untuk apa?

Dalam tradisi pesantren, jawabannya tidak sederhana. Belajar bukan untuk mencari pekerjaan. Belajar bukan untuk sekadar prestise sosial. Belajar adalah bagian dari ibadah—bagian dari perjalanan spiritual untuk mengenal diri, mengenal Tuhan, mengenal sesama.

Dalam Ta’līm al-Muta’allim, kitab tua yang masih menjadi pegangan di banyak pesantren, disebutkan bahwa ilmu itu demi amal, bukan demi perdebatan. Dan amal, di situ, tidak selalu berarti aktivitas fisik. Ia juga berarti pembentukan diri, perubahan batin, keterbukaan terhadap kebenaran—betapapun menyakitkan kebenaran itu.

Maka perayaan Hari Pendidikan Nasional di pesantren harus berani bertanya: Apakah ilmu yang kita pelajari telah mengubah kita?

Apakah setelah satu tahun membaca Fath al-Qarib, Bulugh al-Maram, atau Tafsir al-Mishbah, hati kita menjadi lebih lapang? Akal kita lebih tajam? Empati kita lebih dalam? Atau justru kita menjadi lebih sombong, lebih menghakimi, lebih merasa benar sendiri?

Saya membayangkan Hari Pendidikan Nasional yang sunyi. Bukan upacara dengan barisan kaku. Bukan pidato yang disalin dari internet. Tetapi satu hari di mana seluruh pesantren berhenti sejenak. Para santri berkumpul dalam halaqah-halaqah kecil. Masing-masing merefleksikan satu pertanyaan: Apa yang sudah aku pelajari tahun ini—not only with my brain, but also with my heart?

Begitu Hari Pendidikan Nasional dihidupkan kembali—tidak sebagai seremoni, tetapi sebagai ziarah batin—pendidikan bisa kembali menjadi ruang untuk tumbuh, bukan hanya untuk diukur.

Menjaga Tradisi, Merayakan Pertanyaan

Tentu, perubahan seperti itu tidak mudah. Dalam sejarah panjang pendidikan, selalu ada tarik-menarik antara formalisme dan pembebasan. Ki Hadjar sendiri pernah diasingkan oleh pemerintah kolonial karena ia membayangkan sekolah yang bukan hanya mencetak pegawai, tetapi membebaskan manusia.

Di dunia pesantren, tarik-menarik itu juga ada. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menjaga tradisi: metode hafalan, kitab kuning, sistem sorogan. Di sisi lain, ada kebutuhan untuk membiarkan pertanyaan-pertanyaan baru tumbuh: Apa makna belajar di zaman penuh distraksi ini? Bagaimana membangun ketahanan batin di tengah banjir informasi?

Perayaan Hari Pendidikan Nasional untuk santri harus menjadi ruang dialektika: menjaga tradisi tanpa mematungkannya, membuka inovasi tanpa kehilangan akar.

Saya teringat satu fragmen dari Tafsir al-Azhar karangan Buya Hamka. Ia menulis tentang perintah pertama dalam Al-Qur’an: Iqra’!—bacalah! Tapi Hamka menafsirkan membaca bukan sekadar mengeja huruf-huruf. Ia berbicara tentang membaca kehidupan. Membaca perubahan. Membaca diri sendiri. Membaca Allah melalui tanda-tanda di dunia.

Mungkin itulah tugas santri hari ini. Membaca—dengan cara yang lebih luas. Membaca bukan hanya kitab kuning, tetapi juga kegelisahan zaman. Membaca bukan hanya masa lalu, tetapi juga masa depan.

Hari ini, pendidikan kita terlalu sering terjebak dalam rutinitas tanpa makna. Ia menjadi proyek industrialisasi: menghasilkan manusia-manusia seragam, siap pakai, tanpa banyak bertanya. Padahal pendidikan seharusnya melahirkan manusia-manusia yang tidak takut bertanya: “Mengapa dunia ini begini?” “Mengapa aku begini?” “Apa yang bisa kuubah?”

Dalam pengertian ini, para santri—bila mereka setia pada jiwa keilmuan mereka—bisa menjadi benteng terakhir pendidikan sejati. Karena mereka dididik untuk tidak hanya tahu, tetapi juga beradab. Tidak hanya menguasai ilmu, tetapi juga diajari khauf (rasa takut kepada Tuhan) dan mahabbah (cinta).

Akhirnya, Hari Pendidikan Nasional bukanlah sekadar memperingati kelahiran Ki Hadjar Dewantara. Ia adalah memperingati kelahiran kembali diri kita sendiri—sebagai insan yang terus belajar, terus bertanya, terus merunduk dalam kehausan akan kebenaran.

Mungkin tidak perlu upacara. Cukup selembar kertas. Cukup satu momen hening. Cukup keberanian untuk bertanya pada diri sendiri: Apakah aku masih seorang pembelajar? Kalau jawabannya iya, maka Hari Pendidikan itu hidup—tidak hanya di kalender, tapi di dada.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan