Membaca Kembali Pendidikan: Sebuah Tafsir untuk Santri

14 views

Ada sebuah pagi yang lambat di bulan Mei, ketika bendera dipasang setengah hati dan lagu “Hymne Guru” terdengar pelan dari pengeras suara yang terdistorsi. Hari Pendidikan Nasional kembali hadir. Kita berdiri, menghafal pidato-pidato, mendengarkan jargon yang sudah berdebu. Pendidikan dibicarakan—tetapi jarang direnungkan.

Saya berpikir: di kalangan santri, di ruang-ruang yang sering diasumsikan “tradisional”, tidakkah ada kesempatan untuk membebaskan Hari Pendidikan Nasional dari sekadar upacara? Tidakkah para santri—yang di setiap kitab kuning mengakrabi kata-kata seperti ilmu, adab, ijtihad—justru paling mungkin menghidupkan pendidikan sebagai sesuatu yang lebih hidup, lebih manusiawi, lebih gelisah?

Advertisements

Pendidikan, sebagaimana dihayati Ki Hadjar Dewantara—yang namanya kini abadi dalam tanggal 2 Mei itu—bukan hanya memindahkan ilmu dari kepala ke kepala. Ia adalah pembebasan jiwa. “Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani,” katanya. Di depan memberi teladan, di tengah membangun kehendak, di belakang memberi dorongan.

Tetapi bagaimana memberi teladan, membangun kehendak, dan mendorong pertumbuhan di dunia pesantren, yang di dalam dirinya sendiri sudah ribuan tahun dihuni oleh ritus-ritus yang mapan?

Pendidikan, seperti air, harus terus bergerak. Bila ia diam, ia membusuk. Bila ia dibekukan dalam perintah, ia menjadi beban. Bila ia dihidupkan dalam pencarian, ia menjadi sungai.

Santri, dalam sejarahnya, adalah para pejalan di sungai itu. Mereka tidak hanya belajar untuk menghafal alfiyah atau menyalin tafsir jalalain. Mereka melatih ketekunan, mengasah adab, belajar berproses—semua itu bukan demi ujian, bukan demi sertifikat, tetapi demi menjadi manusia yang lebih utuh.

Hari Pendidikan Nasional, di tengah dunia santri, barangkali perlu dikembalikan ke makna itu: belajar sebagai suluk, sebagai perjalanan batin, bukan kompetisi ranking.

Untuk Apa Kita Belajar?

Mari kita mulai dengan satu pertanyaan sederhana: untuk apa santri belajar? Bukan pertanyaan apa yang dipelajari, atau bagaimana caranya belajar, tetapi untuk apa?

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan