Memayu Hayuning Bawana

3,407 kali dibaca

Setiap manusia harus memahami bahwa perjalanan hidup tidak akan pernah bergerak mundur atau berhenti. Karena itu, setiap kita harus dapat menyesuaikan terhadap obahing jaman atau perubahan zaman. Dan, memang untuk masalah ini manusia adalah makhluk terbaik yang memiliki kemampuan adaptasi cepat dengan kondisi apa pun.

Lantas berhubungan dengan beradaptasi terhadap perubahan zaman, tentu saja manusia juga harus memahami intuisinya sebagai seorang manusia yang lengkap, sehingga perubahan zaman tak bisa memaksanya untuk berbuat yang menyimpang entah itu dalam hal agama, moral, dan peraturan negara.

Advertisements

Nenek moyang kita sebenarnya sudah mempunyai filosofi yang visioner dan bisa digunakan di zaman apa pun. Nilai-nilai luhur ini sebenarnya merupakan kewajiban manusia modern dan manusia post-modern , dan untuk itu leluhur kita meninggalkan tiga perkara, yaitu tugas kemanusiaan (ngamanungsakake rasa kamanungsane), tugas duniawi (hamemayu hayuning bawana), dan tugas ketuhanan (nyebarake agama suci).

Tiga perkara warisan luhur oleh para leluhur itulah yang menjadi tameng bagi manusia saat ini agar bisa mengerem saat ingin bertindak menyimpang. Karena, dengan perkara itu manusia yang sejati tidak akan merusak alam, melainkan menjaganya. Dan, tiga perkara itu sebenarnya dapat dirangkum dengan satu filosofi yang membumi di Nusantara, Memayu Hayuning Bawana.

Dalam buku Strategi Kebudayaan yang ditulis oleh Nasruddin Anshoriy, dijelaskan bahwa Memayu Hayuning Bawana mengandung tiga unsur dasar yang dibebankan kepada umat manusia, biasanya disebut Tri Satya Brata.

Pertama, rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa (kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa. Hal ini adalah kewajiban bagi umat mansia untuk menjaga tempat yang saat ini kita pijak berdasarkan dengan intuisi rasa yang sudah diberikan Tuhan dalam setiap diri manusia.

Tentu saja sebuah rasa hadir dalam diri manusia yang sudah sering mengolahnya, sehingga rasa tidak tegaan dan rasa belas kasih sering muncul saat melihat fenomena-fenomena yang tidak seharusnya. Oleh sebab itulah manusia yang mempunyai kepekaan rasa tak akan pernah menebang pohon secara liar hanya demi keuntungan uang dan urusan perut. Tidak hanya itu, orang yang terlatih mengolah rasa pasti sudah mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, lebih lagi mana yang pantas dan mana yang tidak pantas.

Kedua, darmaning manungsa mahanani rahayuning negara (tugas manusia adalah menjaga keselamatan negara). Sebagai kewajiban seorang manusia yang hidup dalam aturan negara dan dalam ruang lingkup global, manusia sejati pasti memahami bahwa negara adalah kepentingan kelompok yang majemuk dan bukan kepentingan individua tau golongan tertentu. Manusia yang memahami bahwa “negara adalah bagian dari dirinya” akan senantiasa memberikan sedekah atau pengorbanan kepada negara. Ia tidak terus menuntut kepada negara melainkan memberikan kontribusi kepada negara. Oleh karena itu, pejabat yang sedang menjabat seharusnya memiliki kepekaan terhadap sifat ini sehingga program kerjanya bukan hanya untuk memuaskan isi dompetnya melainkan karena kewajiban berat untuk menjaga negara yang ia pijak. Dan sepertinya filosofi nenek moyang ini juga didakwahkan oleh KH Wahab Chasbullah dalam lagunya, ‘Hubbul Wathon Minal Iman’.

Ketiga, rahayuning manungsa dumadi karana kamunangsane (keselematan manusia oleh kemanusiaannya sendiri). Kemanusiaan adalah sifat yang paling tinggi dalam diri seorang manusia. Kemanusiaan berarti memanusiakan manusia dan melayani manusia lebih baik dari ia melayani dirinya sendiri. Hal ini tentu akan menciptakan asas kebermanfaatan kepada sesame manusia. Sehingga tentu filosofi luhur ini juga sejalan dengan yang diajarkan Rasulullah, bahwa umat Islam itu ibarat satu tubuh. Jika salah satu tubuh terluka, maka tubuh yang lain akan merasakan sakit. Dan juga, ajaran Rasulullah bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat.

Filosofi Memayu Hayuning Bawana rupanya mengandung misi akbar bagi manusia di dunia dalam tiga subsatnsi, yaitu: hamengku bawana, hamengku nagara, hamengku bumi. Tentu tiga substansi itu akan melahirkan manusia sebagai jalma kang utama, atau biasa disebut makhluk yang terbaik. Dalam kaidah Islam, sifat seperti ini disebut ‘ahsanu taqwim’.

Manusia yang sudah menjadi manusia sejati akan bisa menyeimbangkan perannya sebagai manusia dengan kewajibannya kepada alam semesta. Sehingga konsep rahmatan lil ‘alamin bukanlah konsep yang diberikan untuk Rasulullah saja, melainkan konsep umum yang ditugaskan untuk kita sebagai manusia modern atau manusia post-modern ini. Oleh sebab itu, konsep rahmatan lil ‘alamin bukanlah sebuah konsep yang datang begitu saja, melainkan sebuah konsep yang mengharuskan manusia untuk memahami jati dirinya terlebih dahulu, dan memahami peran kehidupannya. Hingga puncaknya adalah menjadi manusia yang insan kamil, yang menjadi jalma kang utama, atau menjadi manusia yang rahmatan lil ‘alamin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan