Memahami “Cara Mencari Ilmu” dalam Perspektif Ilmu Fikih

1,605 kali dibaca

Mahasiswa dan santri harus bisa mengaji, membaca, mengkaji (analisis), mempraktikkan dan menularkan ilmu yang didapatkannya.
—Dr. K.H. Abdul Ghofur Maimoen, M.A.

Laju ilmu pengetahuan sangat dinamis, termasuk ilmu fikih. Dulu, ilmu fikih hanya membahas tentang persoalan ibadah, muamalah, munakahah (pernikahan), jinayat (kriminalitas), dan faraidl (perwarisan). Ilmu fikih dengan cakupan demikian tentu mengandung pemahaman yang begitu terbatas jika dihadapkan dengan persoalan kontemporer.

Advertisements

Imam Syafi’i kemudian merumuskan konsep pengambilan hukum fikih secara proporsional melalui ushul fikihnya -dapat disebut juga paradigma penggalian hukum fikih- yang termuat dalam kitab Al-Risalah pada akhir abad ke-2 Hijriyah. Kemudian lahirlah fikih-fikih yang dirumuskan lebih menyeluruh, seperti fiqih siyasi (politik), fiqih ijtima’i (sosial), fiqh al-nisa (fiqih kewanitaan), dan sebagainya. Menariknya, fikih-fikih yang lahir itu tetap harus menerapkan prinsip ushul dan kaidah yang ditetapkan oleh para ulama mutaqoddimin (klasik).

Fikih sendiri merupakan cabang ilmu keagamaan yang memang secara khusus membahas persoalan hukum Islam dari berbagai lini. Sesuai dengan definisinya, “Ilmu yang membahas tentang produk hukum-hukum syariat (Islam) yang diambil dari dalil-dalil pokok yang diambil dari sumber ajaran Islam”.

Mayoritas ulama sepakat, dalil-dalil tersebut adalah Al-Quran, Hadis, Ijma (konsensus ulama), dan Qiyas (Analogi). Banyak persoalan baru sekarang ini dengan memakai konsep analogi (qiyas). Contoh saja masalah transaksi online, hukumnya tentu harus dianalogikan dengan produk hukum yang sudah ditetapkan para ulama terdahulu dengan menimbang perangkat-perangkat yang bisa disamakan (baca: di-qiyas-kan).

Laju pengetahuan yang dinamis inilah yang menjadi pekerjaan rumah kaum intelektual agar dapat menghidupkan kembali ilmu-ilmu yang sudah diwariskan ulama terdahulu. Untuk menjaganya, seseorang harus benar-benar fokus dalam mempelajari ilmu. Maksud fokus di sini tidak lain agar ilmu yang dihasilkan tidak melenceng jauh.

Fokus bisa berarti macam-macam, tergantung kemauan penggiat ilmu tersebut. Hal yang pasti adalah “seseorang tidak akan mampu mempelajari semua ilmu yang ada di dunia”. Oleh sebab itu, keragaman ilmu dapat diperoleh dengan kita tahu cara mencari ilmu. Seperti yang dilakukan Imam Syafi’i mengonsep ushul fiqh dalam menggodok produk-produk hukum Islam.

Cara mencari ilmu bermacam-macam. Jika belajar filsafat, sudah lengkap di sana. Inti dari pengetahuan sendiri di dalam filsafat adalah kebenaran. Karena kebenaran adalah bagian dari ilmu. Jika melihat titik yang lain, Islam memberikan standar kebenaran dan ilmu melalui Al-Quran dan Hadis. Di dalam Islam, Al-Quran dan Hadis menjadi produk kebenaran atas wahyu Tuhan. Maka, standar dari kaum muslimin dalam mencari ilmu adalah Al-Quran dan Hadis untuk dijadikan sebagai acuan.

Merujuk pada sumber hukum Islam, ijma dan qiyas menjadi bagian yang lain selain Al-Quran dan Hadis. Ijma sebagai landasan konsensus para ulama, karena merekalah yang paham tentang Al-Quran dan Hadis. Oleh karenanya, Al-Quran, Hadis, dan Ijma menjadi satu kesatuan sumber Islam yang kuat agar selamat dari ketersesatan. Wahbah Al-Zuhaili menyebut ketiganya sebagai sumber naqli atau riwayat. Jadi, sudah bisa dipertanggungjawabkan.

Adapun, sumber yang lain adalah qiyas sebagai sumber hukum ‘aqli atau nalar. Qiyas merupakan sumber terakhir setelah ketiga sumber yang disebutkan di atas. Maka, penggunaan qiyas adalah solusi terakhir saat tidak ditemukan dalam ketiga sumber lainnya. Oleh sebab itu, posisi qiyas tidak menjadi prioritas, tetapi bisa dijadikan sebagai solusi. Tidak heran jika di lingkungan pendidikan Islam, dalam hal ini pesantren, tidak asing dengan istilah riwayah (sanad) dan dirayah (transfer ilmu dan pengetahuan).

Riwayah bisa didapatkan melalui pembacaan literatur. Seseorang akan lebih memahami jika ia banyak membaca. Namun demikian, literatur terbatasi dengan mengetahui apa yang akan dibacanya dan berhati-hati dengan bacaannya.

Sedangkan, dirayah bisa didapatkan dengan pengayaan nalar. Pengayaan nalar bisa didapatkan dengan banyak hal. Bahkan, di pesantren sendiri sudah ada bidang ilmu yang dapat menunjangnya, yakni ilmu mantiq. Penalaran di dalam ilmu tersebut tidak banyak berbeda dengan filsafat ala Yunani. Walaupun banyak juga perbedaan-perbedaan. Al-Ghazali pun tidak antipati dengan adanya filsafat pada akhirnya.

Analogi “cara mencari ilmu” adalah bagaimana memadukan sebuah persoalan, peristiwa, keadaan, atau apapun itu yang menyangkut hal-hal aktual dengan jawaban serta respon berdasarkan ilmu yang sudah didapatkan. Alat mencari ilmu tidak lain mengaji, membaca, mengkaji (analisis), mempraktikkan, dan menularkan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan