Melihat Masa Depan Pesantren

1,072 kali dibaca

Pesantren bisa dikatakan satu-satunya lembaga pendidikan yang saya kira tetap konsisten dalam mempertahankan karakter dan corak pendidikan yang cukup adaptif dan bernuansa local wisdom. Walaupun  di sisi lain, pesantren sering kali masih dipandang sebelah mata, dengan konsep pendidikan yang begitu-begitu saja. Padahal, dari dulu sampai sekarang masih tetap sama; kurikulum yang dipakai memperhatikan kultur berbasis keagamaan.

Tipologi tersebutlah yang membedakan antara lembaga pendidikan formal lainnya dengan pesantren. Berangkat dari karakter itu, pesantren saya kira cukup mempunyai relevansi tanpa adanya intervensi dalam melakukan rekonstruksi. Berbeda apabila masih ada kepentingan lembaga yang masih diintervensi negara, misalnya dengan melakukan restorasi kepentingan dan keinginan sebagaimana pemerintah inginkan, bukan kebutuhan pesantren sendiri.

Advertisements

Memang, di sisi lain, pesantren bukan suatu yang anti terhadap regulasi yang diberikan pemerintah, akan tetapi di sebagian lembaga masih berpegang teguh dengan tidak adanya intervensi oleh pihak yang rentan berbau kepentingan, khususnya pemerintah. Jadi boleh-boleh saja ada suatu kondisi, di mana pemerintah harus ikut campur, seperti halnya untuk kesejahteraan pengajar, pembangunan infrastuktur, dan pengembangan lainnya.

Namun, itu bukan suatu hal yang gampang direalisasikan. Buktinya, dengan hadirnya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang Dana Abadi Pesantren masih manuai pro dan kontra. Karena hal itu dianggap bagian iming-iming pemerintah untuk bisa mengintervensi pesantren lewat UU Pesantren yang dibuatnya. Situasi saat ini memang dipandang perlu adanya sosialiasi untuk dapat mengedukasi dan menjelaskan, bahwasanya itu bukan bagian dari pemerintah dalam mengintervensi kepentingan dirinya, tapi memang murni untuk kesejahteraan pesantren sendiri.

Pesantren dalam Pusaran Zaman

Perkembangan teknologi dan arus zaman begitu cepat, sehingga manusia dipaksa untuk tetap bisa adaptasi dengan segala kondisi yang sedang dialaminya, sebagaimana di katakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Artinya unsur dinamis seharusnya harus selalu ada dalam diri manusia.

Hal itu menjadi suatu yang cukup dilematis bagi sebuah lembaga seperti pesantren yang sebagian masih tetap kokoh dengan corak budaya dan tradisi lamanya. Maka perlu nantinya ada keterbukaan wawasan serta cara pandang, agar pesantren tidak menjadi lembaga yang monoton dan stagnan begitu saja. Tentunya tetap mempertahankan kebiasaan, budaya yang baik, dan menerima tradisi maupun budaya yang lebih baik.

Walaupun sebagian pesantren sudah terbuka dengan perkembangan zaman, yang saat ini kita kenal Era 5.0, seperti halnya di Jawa Timur ada Pesantren Gontor dan Al-Amin (Madura), dengan nuansa pendidikan yang cukup modern, tanpa menghilangkan esensi kepesantrenan. Semua itu menandakan bahwa pesantren mempunyai keterbukaan terhadap perkembangan zaman itu sendiri. Buktinya sekarang di beberapa pesantren ada Ma’had Aly, pendidikan berstandar perguruan tinggi yang berada dalam naungan pesantren.

Keseriusan itu juga datang dari pemerintah, agar keberlanjutan pesantren tetap eksis. Hal itu diperkuat dengan Peraturan Menteri Agama ini sebagai turunan dari UU Pesantren yang secara resmi telah diundangkan pada 16 Oktober 2019. Lalu terbitlah juga PMA Nomor 32 tahun 2020 tentang Mahad ‘Aly ditetapkan pada 30 November 2020.

Keterbukaan pesantren dan respons baik dari pemerintah tersebut seharusnya menjadikan langkah awal bagi pesantren untuk memanfaatkan kesempatan itu. Jangan sampai timbul anggapan adanya intervensi oleh pemerintah yang bersifat politis. Sekalipun ada, maka nantinya juga turut diperhatikan dan tetap memfilter setiap regulasi yang dibuatnya. Sebab pesantren dari dulu dikenal dengan integritas dan profesionalitas dalam menjalani roda pendidikan yang berbasis agama.

Masa Depan Pesantren

Apa yang ada di benak kalian ketika berbicara masa depan? Kesejahteraan atau kehancuran? Nah, masa depan memang bukan suatu yang patut untuk ditakutkan, tidak juga disepelekan. Sebab bertransformasi ke masa depan perlu planning yang matang dan kesiapan yang pasti. Namun kali ini yang saya ulas bagaiamana nasib pesantren di masa depan secara kelembagaan.

Lagi-lagi kesiapan dan keterbukaan suatu hal yang amat penting untuk mempertahankan dan mempertaruhkan eksistensi pesantren. Kenapa demikian? Sebab jika pesantren tidak memberikan inovasi dalam segi pendidikan, maka itu menjadi suatu yang perlu dikhawatirkan keberadaannya nanti. Karena manusia modern keinginannya cukup kompleks dan tidak bisa ditebak begitu saja. Ia mengalir begitu saja, tanpa memperhatikan sebab-akibatnya.

Pesantren harus mampu menjembatani keinginan itu, namun tanpa menghilangkan jati diri aslinya. Karena bagaimanapun, suka tidak suka, kita dipaksakan untuk adaptif dan pesantren harus mampu menjawabnya dengan segala risiko yang ada. Risiko dalam arti, tipologi dan corak yang ada tetap sama, tanpa menghilangkan norma-norma agama.

Suatu yang berhubungan dengan norma dan akhlak, maka itu menjadi suatu yang mutlak dan tidak perlu diubah. Sebab, biasanya imbas dari perkembangan zaman akan mengalami dekadensi moral. Pesantren harus tetap berpegang teguh sebagaimana komitmen diawal, yakni lembaga yang notabene berbasis keagamaan dan tidak lepas dari moralitas. Dari hal itu perlu sebuah keseriusan dalam mempersiapkan, serta komitmen yang turut diperhatikan pula. Agar kemudian tidak hanya mengikuti arus zaman belaka.

Kalau pun semua itu sudah diperhatikan dan dipersiapkannya, maka saya pikir sudah sedikit cukup sebagai landasan awal bagi lembaga kepesantrenan di dalam menjawab juga beradaptasi dengan tren masa depan. Walaupun, masih perlu banyak hal yang diperhatikan, yang sifatnya lebih detail. Namun, hal yang mendasar itu bisa menjadi langkah awal untuk menguji kesiapannya di masa yang akan datang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan