Lima tahun lalu, saya mendapati sebuah buku dari pemberian seorang teman setibanya di Bandung. Buku tersebut merupakan sebuah disertasi antropologi sejarah yang diterbitkan oleh Ecole Francaise d’Extreme-Orient. Judulnya Corps de Bois, Souffle Humain: Le Theatre de Marionettes Wayang Golek de Java Ouest” karya .
Penerbit KPG kemudian menerbitjan disertasi yang ditulis Sarah Anais Andrieu ini dengan judul Raga Kayu, Jiwa Manusia: Wayang Golek Sunda. Ini merupakan buku yang bagi saya terbilang cukup aktual dan komperhensif. Sebab, untuk ukuran studi kontemporer yang tersedia dengan lokus penelitian spasial Bandung, buku ini bisa merangkum cakupan besar subjek kebudayaannya sebagai suatu kewilayahan masyarakat Sunda di Jawa Barat.

Karena tergolong ke dalam etnografi partisipatif yang bersifat langsung dan spasial, maka buku ini berbeda dengan studi antropologi sejarah yang dilakukan oleh Ronit Ricci, “Islam Translated” yang lebih pada pengembangan dari teks atau kisah.
Kendati demikian, saya menilai keduanya memiliki kesamaan, yaitu bersumber dari khazanah hikayat Islam Asia Tenggara. Dalam buku Islam Translated, subjek penelitian berpusat pada kisah seorang Yahudi bernama Abdullah bin Salam yang bertanya kepada Nabi, kemudian pertanyaan-pertanyaan itu terangkum dan menjadi hikayat dalam buku seribu pertanyaan. Sementara, wayang golek bersumber dari hikayat Amir Hamzah (paman Nabi). Kedua hikayat ini kemudian menjadi semacam epos dalam proses transformasi budaya dan Islamisasi pada Abad Pertengahan di Asia Tenggara.
Sebagai generasi yang terlahir di tahun menjelang 2000-an di wilayah Jawa Barat, mungkin hampir semua anak sudah tidak mengalami persentuhan dengan wayang golek. Jika pun mengalami, yaitu lakon Si Cepot yang hadir di televisi sebagai penanda masuknya bulan Ramadan. Si Cepot muncul bak juru dakwah yang kelewat serius dengan lagaknya yang terlihat lucu dan polos. Hal tersebut menjadi sebuah fenomena baru di saat wayang sudah ditinggalkan, namun bisa bertahan dalam medium baru bernama televisi.
Meski, bila kita telisik dari dua bab dalam buku yang telah diteliti oleh Sarah Anais Andrieu ini, munculnya wayang di televisi dinilai sebagai kapitalisasi wayang; wayang diletakan sebatas produk dalam industri hiburan dan penonton sebagai konsumen pendulang kapital.
Di saat bersamaan, kita bisa melihat di tahun-tahun itu terjadi krisis politik (Reformasi) yang membuat wayang dihadapkan pada geger budaya atas eksistensi dirinya. Setelah di masa sebelumnya (Orde Baru), wayang dihadapkan pada propaganda politik, standarisasi, problematika identitas kelokalan serta pembentukan budaya nasional. Terlepas dari itu, sang dalang Asep Sunandar mungkin tidak memiliki pilihan lain dalam mengenalkan wayang pada khalayak yang lebih luas melalui televisi.
Sampai di tahap ini, saya pribadi bisa menilai mengapa sang dalang Asep Sunandar membuat lakon Si Cepot dengan wajah berwarna merah; boleh dikata hal itu merupakan simbol kemarahan pada situasi zaman yang dihadapi, bisa juga diartikan sebagai kesakitan eksistensial, atau boleh jadi di masa krisis (Reformasi) itu Si Cepot justru mengalami pencerahan (terlahir kembali) layaknya bayi yang berwarna merah di sekujur tubuhnya.
Namun dalam tulisan ini saya tidak hendak membahas perkara itu. Saya lebih tertarik pada bagaimana wayang golek yang merupakan warisan para penyebar Islam (Walisongo) bisa sampai dan digunakan di Jawa Barat, juga bagaimana para dalang (khususnya Asep Sunandar yang kebetulan menjadi subjek dalam penelitian buku) mengartikulasikan ulang wayang dalam upaya visi awalnya untuk menerjemahkan Islam dalam konteks kiwari.
Hampir semua peneliti dan praktisi wayang memiliki kesimpulan bahwa wayang merupakan salah satu peninggalan kreasi seni paling agung yang diwarisi bangsa Indonesia. Beberapa peneliti menilai awal kemunculan wayang digunakan pada periode Hindu dan sumber-sumber pembentuk ceritanya adalah epos Mahabarata dan Ramayana.
Di samping itu, banyak pula ahli dan peneliti lain yang berpandangan bahwa wayang dalam bentuk, lakon-lakon, dan kisahnya yang diterima hari ini merupakan warisan Islam di masa Wali Sembilan (Walisongo). Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai dai (pendakwah) di masa formatur awal Islam, menggunakan kulit hewan (wayang kulit) sebagai medium penerjemahan dan penyebaran agama. Sementara itu, Sunan Giri dan Sunan Kudus dianggap yang memulai reformasi dan reorganisasi wayang di masa setelahnya yang lebih beragam.
Bagi Sarah Anais Andrieu, dalam buku ini, Sunan Giri selain menciptakan wayang gedog pada tahun 1553 yang menampilkan kisah-kisah mengenai Pangeran Panji yang legendaris mencari cinta sejati, juga dianggap sebagai penemu wayang golek yang kemudian dikenal dan digunakan di Jawa Barat kini. Tambahnya, wayang golek pada mulanya digunakan sebagai pendukung cerita Amir Hamzah (paman Nabi) yang mendefinisikan secara bersamaan repertoar wayang menak (di daerah Kudus) dan wayang cepak/papak (di daerah Cirebon).
Sementara, dalam wawancaranya kepada sang dalang Asep Sunandar, beranggapan bahwa “wayang golek tidak lebih dari sekadar modernisasi dari wayang kulit, berbentuk tiga dimensi: bertujuan lebih mendekatkan wayang pada masyarakat; yang analogi antartokoh serta orangnya harus dipermudah, dan supaya masyarakat tetap mencintai wayang”. (Lihat hlm 50-53).
Bagi saya pribadi, wayang golek yang terbuat dari kayu menjadi ciri khusus seiring berjalannya proses islamisasi di Jawa. Hal tersebut berdasar pada keterangan Denys Lombard dan M.C Ricklefs, yang berpendapat bahwa kedatangan Islam secara nyata menyebabkan terhentinya kegiatan pembangunan arsitektural tertentu (batu) yang lama diwariskan dan beralih menjadi kayu. Begitu memasuki fase Islam, penggunaan kayu langsung dijadikan bahan utama pembangunan masjid Demak sebagai tempat berundingnya para wali sembilan (Walisongo).
Masjid ini sekaligus melegitimasi diri sebagai otoritas religius dan kerajaan Islam pertama di Jawa. Hingga dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan kayu menjadi penanda umum bangunan Kesultanan Islam di semua kepulauan Nusantara.
Seiring terjadinya proses islamisasi dengan perkembangan kota-kota bandar (kosmopolit) di semua kepulauan itu, Sarah Anais Andrieu dalam buku ini menyebut Banten dan Cirebon yang terletak di Pulau Jawa bagian Barat memiliki dukungan dari Demak. Karenanya, pada masa itu para bangsawan Sunda sering bepergian secara teratur untuk menyempurnakan pengetahuan mereka.
Sunda-Jawa: Pengaruh dan Dominasi
Tome Pieres dalam catatannya, Summa Oriental, menyebut, di Pulau Jawa ia melihat dua kerajaan Hindu besar seperti meriam kembar, yaitu Pajajaran dan Majapahit. Di periode sebelumnya, dalam catatan-catatan sejarah, kerajaan Hindu pertama berawal di Jawa bagian Barat, yaitu Tarumanegara (abad ke-4 hingga ke-7) hingga berkembang dan mencapai masa keemasannya di Jawa bagian Timur, yaitu Majapahit. Lalu, di pengujung keruntuhan dan peralihannya, Islam bersemai di Jawa bagian Tengah, yaitu di Demak.
Di fase peralihan dan formatur Islam paling awal ini, saya pribadi hampir tidak menemukan term atau pembeda diri antara Jawa dan Sunda, karena pasca runtuhnya Pajajaran, tidak ada kekuasaan politik dan otoritas religius yang menggantikannya. Hal serupa mungkin juga terjadi pada Jawa bagian Timur pasca runtuhnya Majapahit. Sehingga, mungkin saja, tapal batas etnisitas dalam pengertian barunya (dari pemerintah Hindia Belanda) yang muncul setelahnya tidak penting lagi, karena yang amat krusial saat itu adalah peralihan menuju Islam.
Demak, sebagaimana tinjauan yang dilakukan oleh De Graaf dan Pigeaud, menjadi kerajaan dan otoritas religius Islam pertama dalam mengisi kekosongan itu. Sebagaimana telah diuraikan di alinea sebelumnya, kita melihat para pembesar atau kaum menak Sunda pada saat itu sering bepergian ke Demak secara teratur untuk menyempurnakan pengetahuan (Islam) mereka. Sebuah potret serupa dilakukan para cendikia Islam di kepulauan Nusantra yang singgah dalam waktu lama di Malaka (sebelum berangkat ke Makkah), setelah menyempurnakan pengetahuan Islamnya di Makkah, para cendikia Islam ini kemudian menghimpun diri dalam jejaring ulama al-Jawi.
Dalam proses peralihan masyarakat Sunda pada Islam, studi-studi kontemporer yang tersedia sebagai bahan tinjauan sangat terbatas (karena sejak awal memang sudah sangat terbatas). Lebih banyak studi yang menjadi kelanjutan dari studi-studi para sarjana kolonial di periode pertama, dan lebih berpusat pada studi di Jawa. Dalam pengertiannya hari ini sebagai hasil peninggalan Mataram Islam. Sehingga term Jawa yang kemudian dipahami, menjadi oposisi biner dari Sunda, dan yang lainnya.
Pembedaan Jawa-Sunda selanjutnya sangat mungkin diciptakan oleh pemerintah kolonial, di samping karena ekspansinya dengan melakukan politik adu domba (devide et impera), ditambah kecenderungan para ilmuwan kolonial yang selalu mengembalikan tanah jajahan pada masa Hindu (Pajajaran-Majapahit) sebagai fondasi masa lalunya (foundational past), padahal keduanya sudah runtuh dan tidak ada.
Di saat yang sama, Islam sedang bergerak menjadi kekuatan transformasi dan fondasi baru. Namun, hal tersebut dinilai dapat mengancam kuasa kolonial yang mulai mapan, sehingga pemerintah kolonial berkepentingan untuk meredam kekuatan baru (Islam) itu dengan melakukan segregasi politik. Di kemudian hari, politik segregasi ini mampu memecah kekuatan politik Islam yang pada masa itu bermuara di Demak, menjadi kepingan kerajaan-kerajaan kecil di sepanjang pantai utara Jawa, termasuk dengan berdirinya kerajaan Banten dan Cirebon di Jawa bagian Barat.
Wayang Golek dan Penerjemahan Islam
Sunan Kalijaga merupakan satu di antara sembilan wali (Walisongo) dan dikenal yang menggubah wayang dengan bentuk barunya (wayang kulit) hari ini. Sunan Kalijaga pula yang membawa wayang kulit tersebut dalam proses penyebaran Islamnya sampai di Cirebon. Sedangkan Cirebon, sebagaimana kita tahu merupakan wilayah kesultanan yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati.
Dari situ kita bisa melihat perbedaan jalan yang dilalui oleh kedua wali di antara wali sembilan (Walisongo) tersebut. Jalan dakwah (kebudayaan) Sunan Kalijaga berbeda dengan Sunan Gunung Jati yang jalan dakwahnya di wilayah pendidikan dan politik. Hingga kemudian, setelah wayang kulit itu sampai dan diterima oleh masyarakat Cirebon, wayang kulit kemudian mengalami perkembangan.
Kembali ke uraian di awal alinea, Sarah Anais Andrieu berpendapat bahwa Sunan Giri merupakan penemu wayang golek, meskipun bila ditelusuri lebih lanjut dapat memunculkan perdebatan; karena ada yang menyebut penemunya adalah Sunan Kudus. Hal ini berdasar karena repertoar wayang menak dalam cerita Amir Hamzah (paman Nabi) ditampilkan di Kudus.
Perdebatan tersebut bagi saya malah semakin mempertegas hipotesa sebelumnya bahwa tapal batas Jawa-Sunda di periode Islam awal itu tidak ada; bila dikata Sunan Giri sebagai penemu, sebagaimana kita tahu Sunan Giri berasal dari Blambangan dan menyebarkan Islamnya dikemudian hari di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Begitu pula jika penemu wayang golek itu adalah Sunan Kudus, ia juga berada dan kini menjadi wilayah yang berada di ujung Jawa Tengah. Terlepas dari itu semua, wayang golek kemudian sampai dan populer di Jawa Barat.
Dengan populer dan bertahannya wayang golek di masyarakat Sunda, seiring dengan beralih dan transformasinya pada Islam, memperlihatkan bahwa wayang golek berhasil menjadi media kreatif dalam visi awalnya untuk menerjemahkan Islam di wilayah Sunda.
Islam, dalam keterangan Al-Qur’an, adalah rahmat bagi alam semesta. Ia melingkupi semua batas-batas identitas yang terangkum oleh kebudayaannya yang berbeda-beda. Bersamaan dengan itu, Islam (Al-Qur’an) di peruntukkan bagi manusia. Dengan demikian, ia perlu diterjemahkan dalam bahasa dan rangkum kebudayaan yang berbeda-beda itu untuk bisa dimengerti. Sehingga, kalam-kalam langit Al-Qur’an (Islam) bisa hadir di bumi dan aktual dalam kehidupan manusia. Maka hanya para utusan (Walisongo), sebagai pewaris ilmunya para Nabi, yang kemudian diberi kemampuan untuk menerjemahkan Islam ke dalam kebudayaan masyarakatnya secara utuh.
Di masyarakat Sunda kiwari, para pendakwah (dai), seperti halnya sang dalang Asep Sunandar dengan ikonnya Si Cepot yang telah disebut di awal, merupakan upaya yang sebelumnya telah berjalan dan turut ia warisi dari wali sembilan (Walisongo), yaitu menerjemahkan Islam untuk ia hadir dan dapat dimengerti di setiap zaman.
Si Cepot bisa populer karena ia mampu merepresentasikan rangkum kebudayaan manusia Sunda yang bisa kita saksikan memang seperti itu. Sepintas, ia mirip Si Kabayan yang abai terhadap zaman, namun dalam banyak hal ucapan-ucapan yang terlihat spontan memiliki kedalaman. Gaya dan nada bicaranya seperti para dai (mubaligh) pada umumnya.
Namun yang membedakan, Si Cepot menyampaikan pesan agama tidak dengan doktrin yang didaktis, tapi dengan kisah-kisah para Nabi dan cerita masa lalu manusia suci (para wali) yang memunculkan metafor-metafor baru.
Jika para dai (mubaligh) pada umumnya berceramah dengan ciri umum apa yang disebut mauidzoh khasanah (pesan-pesan yang baik), dai Si Cepot berceramah dengan kisah (hikmah). Dan kisah (hikmah) ini kemudian yang menjadi ciri umum dalam dunia pewayangan.
Kisah-kisah (hikmah) itu seringkali sulit dimengerti, untuk mencernanya ia lebih dekat pada mitos ketimbang akal budi. Namun dengan begitu, seiring larutnya malam dalam pertunjukan wayang, kisah (hikmah) tersebut justru mampu membuat khalayak penonton ikut larut dalam permenungan.
Selain itu, penyampaian hikmah (kisah) tersebut tidak dalam pengutaraannya secara langsung, namun dengan bodor dan cawokah (humor) yang dinilai lebih sesuai dengan ciri kebudayaan masyarakatnya.
Mungkin memang dengan begitu, pesan dari kisah (hikmah) bisa sampai seiring dengan tujuan diciptakannya wayang, yaitu selain sebagai tontonan juga sebagai tuntunan.