Dalam satu dekade terakhir, media sosial telah menjelma menjadi ruang interaksi utama bagi masyarakat Indonesia. Dari bangun tidur hingga kembali terlelap, jari-jemari kita nyaris tak lepas dari aktivitas menelusuri linimasa, membagikan momen personal, atau terlibat dalam debat isu publik. Lebih dari sekadar hiburan, media sosial hari ini telah berubah menjadi arena pendidikan informal terbesar di negeri ini. Namun, benarkah ia bisa disebut “sekolah rakyat” digital?
Konsep “sekolah rakyat” dalam sejarah Indonesia bukan sekadar ruang alternatif belajar, melainkan ruang perlawanan terhadap ketimpangan akses pendidikan, tempat warga akar rumput membangun kesadaran kolektif dan refleksi sosial.

Namun ketika istilah ini digunakan untuk menggambarkan media sosial hari ini, kita perlu lebih kritis: siapa yang mengajar, apa yang diajarkan, dan siapa yang paling diuntungkan?
Media sosial memang membawa peluang besar dalam mendemokratisasi akses pengetahuan. Kini, siapa pun bisa belajar sejarah, ekonomi, literasi hukum, atau teknik praktis hanya bermodal kuota internet.
Sebagaimana dikatakan Clay Shirky dalam Here Comes Everybody, platform digital mempermudah koordinasi ide dan distribusi gagasan secara masif tanpa harus melewati institusi formal. Namun transformasi ini tidak netral. Ia dibentuk oleh logika algoritma dan ekonomi atensi yang justru sering memperkuat dominasi, bukan mendistribusikan keadilan.
Di balik kemudahan akses, kita menyaksikan paradoks baru: algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan engagement justru mendorong konten sensasional, dangkal, dan kadang menyesatkan.
Akibatnya, media sosial cenderung lebih mempromosikan polarisasi daripada pemahaman. Fenomena “guru dadakan” muncul: figur-figur yang tidak memiliki legitimasi keilmuan namun mendapat jutaan pengikut karena kemampuan retoris dan narasi populis mereka. Dari teori konspirasi hingga hoaks politik, konten semacam ini menyebar lebih cepat daripada klarifikasi ilmiah.
Neil Postman dalam Amusing Ourselves to Death pernah mengingatkan bahwa ketika pendidikan dibungkus hiburan, maka pesan kritis menjadi kabur. Media sosial bukan hanya memperkuat gejala ini, tetapi memproduksinya secara sistemik. Dan ironisnya, algoritma yang mengatur arus informasi itu tidak dibuat oleh rakyat, tetapi oleh korporasi global yang mengejar profit melalui atensi publik.
Jika kita ingin serius menjadikan media sosial sebagai ruang belajar kolektif, maka pendekatan moralistik saja tidak cukup. Kita butuh analisis ekonomi-politik yang menyeluruh: siapa yang mengontrol data, siapa yang mengendalikan arus informasi, dan siapa yang disenyapkan. Menyalahkan rendahnya literasi publik tanpa membongkar logika pasar digital hanya akan membuat kita memarahi korban, bukan menantang pelaku dominasi.
Dalam konteks ini, solusi tidak bisa bertumpu hanya pada “seruan turun gunung” dari para pakar. Kita butuh kebijakan struktural: literasi digital harus masuk kurikulum dasar, platform harus dituntut transparansi algoritmik, dan regulasi tidak boleh semata-mata represif, tapi berpihak pada distribusi pengetahuan yang adil. Komunitas akar rumput, pesantren, dan kelompok marjinal perlu mendapat dukungan untuk menciptakan kanal-kanal produksi konten yang independen dan berdaya.
Di sisi lain, kita perlu berhati-hati terhadap narasi penyelamatan yang terlalu mengidealkan ruang digital. Sekolah rakyat konvensional pun tidak luput dari bias ideologis dan eksklusi sosial. Demikian pula ruang maya: ia bisa menjadi arena pembebasan atau pembodohan massal, tergantung siapa yang mengelola dan bagaimana relasi kuasanya bekerja.
Maka, jika kita menyebut media sosial sebagai sekolah rakyat, kita harus mengakui bahwa sekolah ini sedang dikuasai oleh algoritma, dikomodifikasi oleh kapital, dan diregulasi oleh negara dengan motif politik. Tantangan kita bukan hanya menjadi murid atau guru yang baik, tetapi menjadi warga digital yang sadar akan medan pertempuran epistemik ini.
Masa depan pendidikan informal Indonesia sedang ditentukan bukan di ruang kelas, tapi di kolom komentar, thread viral, dan siaran langsung TikTok. Kita perlu membangun kesadaran kritis kolektif bahwa belajar di media sosial bukan sekadar menyerap, tetapi juga menggugat, membongkar, dan membangun ulang.
Sekolah rakyat digital seharusnya bukan ruang pasif konsumsi konten, tetapi medan dialektika yang berpihak pada keadilan pengetahuan. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita mampu melihat media sosial bukan sekadar alat, tetapi sebagai ruang politik yang harus kita rebut kembali.