Drama Masyitoh menjadi salah satu magnet pada Pekan Apresiasi Sastra dan Drama (Pestarama) #10 yang digelar Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pertunjukan Masyitoh yang merupakan adaptasi naskah karya Ajip Rosidi ini berlangsung pada Selasa, 20 Mei 2025 di Bulungan Theater Building, Jakarta Selatan, dan dihadiri kurang lebih dari dua ratus penonton dari berbagai kalangan.
Pestarama merupakan acara tahunan yang menjadi wadah mahasiswa untuk mengekspresikan kreativitas sekaligus mengapresiasi karya sastra dan seni peran. Memasuki tahun ke-10 pelaksanaannya, Pestarama tahun ini mengangkat tema “Relung Langkah Budayawan Muslim Indonesia #2”, sebagai bentuk penghormatan terhadap jejak para budayawan muslim dalam dunia sastra.

Salah satu rangkaian utama Pestarama #10 adalah pementasan drama dari mahasiswa semester 6 PBSI. Tiga naskah ditampilkan dalam pertunjukan tahun ini, dan salah satu yang menarik perhatian adalah drama Masyitoh ini. Masyitoh mengisahkan keberanian seorang perempuan dalam mempertahankan keyakinan kepada Allah di tengah kekuasaan Firaun.
Ajip Rosidi, yang menulis naskah Masyitoh, merupakan sastrawan besar Indonesia yang telah memberi kontribusi luar biasa dalam dunia sastra sejak pertengahan tahun 1950-an. Ajip Rosidi dikenal sebagai sastrawan yang produktif, dengan karya-karya berupa puisi, cerpen, novel, dan drama.
Masyitoh adalah sebuah drama penuh makna. Drama ini menggambarkan keteguhan seorang perempuan dalam mempertahankan keyakinan di bawah tekanan kekuasaan yang absolut. Masyitoh hadir dengan nada serius dan spiritual, namun tetap menggugah secara emosional.
Drama ini mengisahkan tentang Masyitoh, seorang sahaya dari Bani Israil yang bekerja sebagai penyisir rambut putri Firaun. Tanpa sengaja, ia mengucapkan nama Allah saat bekerja, yang membuat sang putri murka karena meyakini bahwa ayahnya, Firaun, adalah satu-satunya tuhan. Namun Masyitoh tetap teguh. Ia tidak menarik ucapannya dan menjelaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tidak dapat disamakan dengan manusia.
Kisah menjadi semakin mendalam ketika Masyitoh menceritakan peristiwa itu kepada suaminya, Obed, dan tokoh agama bernama Pak Simeon. Keduanya mencoba menenangkan dan menguatkannya, meskipun dalam hati mereka pun diliputi ketakutan akan konsekuensi dari kejujuran tersebut.
Ketegangan meningkat saat Pendeta Kerajaan, Metufer, datang untuk mengonfirmasi laporan dari istana. Sekali lagi, Masyitoh tetap teguh dalam pendiriannya, walau ditawari pengampunan jika ia bersedia mencabut pernyataannya. Namun imannya tidak tergoyahkan. Akibatnya, Masyitoh bersama suami dan kedua anaknya Siteri dan Itamar dijatuhi hukuman mati.
Karakter Masyitoh diperankan dengan penuh penghayatan oleh pemeran utama, Helma, yang mampu menampilkan sosok wanita sederhana namun berani yang memilih mati demi mempertahankan kebenaran. Obed yang diperankan oleh Iqbal, sebagai sosok lembut namun ragu-ragu, yang menunjukkan dinamika emosional dalam menghadapi ujian keyakinan. Sementara Pak Simeon yang diperankan oleh Jaelani dan dua tokoh Bani Israil lainnya Amram dan Nadam yang diperankan oleh Cahya dan Revi memberi dimensi sosial yang menggambarkan tekanan terhadap komunitas minoritas dalam menghadapi tirani.
“Aku tahu risikonya, tapi hatiku tak mampu berbohong. Allah adalah Tuhanku, bukan Firaun, bukan manusia.” Begitulah keteguhan hati Masyitoh.
Sebuah pertunjukan yang tidak hanya menyuguhkan konflik batin dan ketegangan emosional, tetapi juga menyadarkan kita tentang pentingnya keberanian dalam mempertahankan nilai dan keyakinan.
Naskah Masyitoh terasa sangat relevan dengan kondisi kita sekarang. Banyak dari kita dihadapkan pada dilema antara memilih idealisme atau ikut arus demi kenyamanan. Di tengah tekanan lingkungan sekarang, sistem yang kadang tidak adil, dan godaan untuk mengabaikan nilai-nilai demi keuntungan pribadi, sikap Masyitoh jadi semacam pengingat. Keberaniannya berdiri teguh pada kebenaran dan iman menunjukkan bahwa mempertahankan prinsip bukan tanda kelemahan, tapi bukti kekuatan-kekuatan yang datang dari keyakinan yang kokoh dan koneksi spiritual yang tulus dengan Allah.
Sebagai bagian dari rangkaian kegiatan pementasan Pestarama #10, Program Studi PBSI juga mengadakan pameran karya dari ketiga penulis naskah drama yang dipentaskan, yaitu Masyitoh, Tikungan Iblis, dan Iblis. Pameran ini menampilkan karya-karya tulis dari para sastrawan muda, serta dokumentasi proses pelatihan mahasiswa selama persiapan pementasan.
Pameran ini tidak hanya menjadi ajang apresiasi terhadap para penulis dan pemain, tetapi juga memperlihatkan bahwa karya sastra dan drama merupakan hasil dari proses intelektual dan artistik yang mendalam. Lebih dari sekadar tontonan di atas panggung, karya-karya ini hadir sebagai refleksi dari kehidupan dan persoalan-persoalan yang relevan dengan realitas zaman.