Dalam lanskap kehidupan bangsa Indonesia, tanah bukan sekadar hamparan bumi yang dipijak. Ia adalah ruang hidup, sumber nafkah, arena ibadah, dan simbol peradaban.
Namun di balik kediamannya yang diam, sejarah tanah di Indonesia bising oleh suara pertikaian: antara penguasa dan rakyat, antara hukum adat dan hukum negara, antara idealisme konstitusi dan realitas investasi. Maka layaklah kita bertanya ulang: Siapakah pemilik sejati tanah air ini?

Pada masa kerajaan-kerajaan eksis di Nusantara, konsep kepemilikan tanah tak berdiri pada logika individualisme. Di bawah panji Majapahit, Sriwijaya, hingga Mataram Islam, tanah dipandang sebagai titipan dewa atau amanah Tuhan kepada raja. Namun, raja bukan pemilik mutlak. Di sisi akar rumput, masyarakat adat menjunjung tinggi hak ulayat, di mana tanah adalah milik bersama, diwariskan secara turun-temurun, bukan diperjualbelikan.
Di sinilah pesantren-pesantren awal lahir dan tumbuh—dari Tanah Jawa hingga Nusantara Timur—menyatu dengan struktur sosial adat. Para kiai bukan hanya guru spiritual, tapi pengayom kehidupan agraris umat. Tanah wakaf, sawah pesantren, dan lumbung umat menjadi wajah awal fikih pertanahan Islam yang hidup di tengah masyarakat.
Kedatangan VOC dan pemerintah kolonial Belanda mengubah tanah menjadi instrumen kekuasaan dan komoditas ekonomi. Melalui Agrarische Wet 1870, tanah adat yang sebelumnya tidak diperjualbelikan, dijadikan objek sewa jangka panjang bagi perusahaan Eropa selama 75 tahun. Petani berubah status menjadi buruh, dan tanah menjadi arena eksploitasi.
Di tengah krisis ini, pesantren mengambil posisi unik: menjaga ruh tanah sebagai berkah ilahi. Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Kiai Ahmad Dahlan di Yogyakarta, dan para kiai pesantren lainnya melihat tanah sebagai tanah jihad. Di pesantren, semangat keadilan sosial ditanamkan melalui pelajaran kitab al-Ahkam as-Sultaniyyah, Ihya’ Ulumiddin, hingga al-Mabsuth, yang menyuarakan hak rakyat atas bumi dan peringatan keras terhadap penguasa zalim.
Proklamasi 1945 membuka peluang pembalikan paradigma. Namun baru pada 1960 di bawah pemerintahan Presiden Soekarno lahir Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960—sebuah revolusi hukum yang menjunjung tinggi asas tanah untuk kemakmuran rakyat. UUPA menghapus hukum kolonial dan mengangkat prinsip-prinsip Islam: negara bukan pemilik absolut, tetapi pengatur amanah demi kemaslahatan bersama.