Masa Berlakunya Sanad dalam Hadits Nabawi

1,815 kali dibaca

Sanad (jamak: isnad) adalah salah satu instrumen penting dalam hadits. Syekh Muhammad Ajjaj al Khatib menjabarkan bahwa sanad adalah jalan menuju matan, yaitu mata rantai periwayat yang menukil matan dan sumbernya yang pertama. Demikian Imam as Suyuthi juga mendefinisikan sanad sebagai berita tentang jalan matan.

Kepenulisan hadits, dalam dokumentasinya, telah dilakukan sejak awal abad pertama Islam. Hadits direkam oleh para sahabat dengan metode hafalan dan tulisan. Metode hafalan digunakan karena kapasitas daya ingat masyarakat Arab sangat tinggi. Sedangkan, metode perekaman dengan tulisan juga digunakan dalam bentuk lembaran-lembaran yang dikenal dengan istilah shahifah.

Advertisements

Akan tetapi, dokumentasi hadits sepertinya tidak bebarengan dengan pemberlakuan sanad, khususnya saat Nabi Muhammad masih hidup. Karena, menurut fakta sejarah yang ada, para sahabat yang menerima suatu hadits langsung berasal dari Nabi sendiri. Apabila terdapat perbedaan di kalangan para sahabat, mereka pun dapat mengklarifikasi secara privat kepada Nabi atau sahabat lainnya yang mengetahui ketika menerima riwayat langsung dari Nabi.

Banyak argumentasi yang dilayangkan oleh banyak sarjana hadits mengenai penanggalan awal pemberlakuan sanad. Argumen ini diabadikan dengan metode keilmuan modern baik oleh ilmuwan Barat (orientalis) maupun sarjana muslim sendiri. Umumnya, para orientalis memang secara skeptis melihat hadits bila hanya berdasar pada literatur Islam klasik. Dialektika tajam mewarnai perdebatan antara orientalis dengan sarjana muslim yang sama-sama tidak menerima argumentasi secara a priori mengenai penanggalan sanad dalam hadits.

Syekh Mustafa Azami (w. 2017 M) yakin bahwa sanad pada hadits mulai digunakan pada tahun 35 H/656 M, setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan. Ketika itu, orang-orang yang meriwayatkan hadits tidak dapat secara otomatis diterima, namun harus diteliti terlebih dahulu keterpercayaan, kejujuran, dan karakternya.

Argumentasi ini didasarkan Azami dan jumhur ulama pada pernyataan Ibn Sirrin (w. 110 H) dalam Shahih Muslim karya Imam Muslim (w. 261 H); Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al Ashfiya’ karya Abu Nu’aim al Asbahani (w. 430 H) yang berbunyi,

لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ

Artinya:

Para Sahabat (awalnya) tidak pernah menanyakan tentang isnad. Ketika fitnah mulai tersebar, mereka pun berkata (kepada pembawa berita) : “Sebutkan kepada kami silsilah keilmuan kalian! Hadits yang disampaikan oleh para ahli sunnah dapat diterima (riwayatnya), sedangkan dari para ahli bid’ah tidak dapat diterima.

Namun, Joseph Schacht (w. 1969 M) memermasalahkan pernyataan Ibn Sirrin di atas. Ia tidak yakin bahwa argumen tersebut autentik, karena Ibn Sirrin wafat pada tahun 110 H, jauh setelah prahara wafatnya Khalifah Utsman bin Affan. Schacht berpandangan bahwa kekhawatiran umat Islam baru terjadi ketika pembunuhan Khalifah Walid bin Yazid (w. 126 H) di masa Bani ‘Umayyah berkuasa. Ia kemudian tidak meyakini apabila sanad ada sebelum abad kedua hijriah, (lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence).

GHA Juynboll (w. 2010 M) dalam bukunya Muslim Tradition juga ikut andil dalam mengomentari permulaan sanad. Menurutnya, kelahiran sistem sanad ini bermula ketika Ibn Zubair dengan tegas melakukan pemberontakan kepada otoritas Bani ‘Umayyah pada tahun 63-73 H.

Syekh Azami tidak sepakat dengan Schacht dan Juynboll, karena menurutnya Schacht dan Juynboll mengada-ada dengan pernyataan tersebut. Syekh Azami menyatakan bahwa sudah banyak fitnah yang terjadi sebelum kematian Walid bin Yazid maupun perang antara Ibn az Zubair dengan Abdul Malik bin Marwan. Sebut saja konflik antara Khalifah ‘Ali dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Peristiwa tersebut, menurut jumhur ulama, merupakan buntut dari tewasnya Khalifah Utsman bin Affan.

Selain itu, Syekh Azami juga melakukan telaah gramatika pada pernyataan Ibn Sirrin yang dipermasalahkan oleh Schacht. Penggunaan kata لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ menggambarkan bahwa Ibn Sirrin sedang mengungkap suatu tradisi di masa sebelumnya. Dengan kata lain, Ibn Sirrin menyampaikan cerita yang lebih tua daripada periodenya sendiri. Dengan demikian, penggunaan sanad telah ada saat itu, namun tidak disyaratkan dengan khusus.

Pada tahap selanjutnya, autentisitas sanad dalam hadits menjadi sangat krusial dan mempunyai previlege yang tinggi. Karena, dengan sanad-lah, hadits dapat diterima sebagai otoritas keagamaan yang mengatasnamakan Nabi SAW. Dari sinilah kemudian lahir khazanah keilmuan hadits, seperti ilmu Rijal al Hadits yang di dalamnya memuat ilmu Thabaqat ar Ruwat (membahas biografi seorang periwayat hadits) dan ilmu Jarh wa at Ta’dil (membahas kredibilitas periwayat hadits).

Wallahu A’lam bi as Showaab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan