Alih-alih sekadar meratapi bercampurnya “kebijaksanaan dan kebohongan” di belantara digital, kita perlu menelisik lebih dalam: bukankah lanskap maya saat ini justru dikendalikan oleh algoritma yang cenderung tidak etis?
Arus informasi yang deras bukan semata cerminan peradaban an sich, melainkan hasil kurasi dan amplifikasi oleh sistem yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan (engagement), sering kali dengan mengorbankan kebenaran dan keadilan.

Pertanyaan seperti “apakah manusia masih teguh berdiri di atas nilai-nilainya?” terdengar naif di tengah arsitektur digital yang secara aktif mengikis fondasi nilai tersebut. Kita tidak sekadar “tenggelam dalam ketidakjelasan”, melainkan didorong masuk ke dalam labirin disinformasi dan polarisasi oleh mesin-mesin yang tidak memiliki kompas moral. Karena itu, satu hal yang sangat krusial dan tak bisa kita abaikan adalah persoalan etika.
Mengapa dunia digital perlu diatur oleh etika? Karena kehidupan digital kini merepresentasikan sebagian besar kehidupan nyata manusia. Banyak aktivitas sosial, komunikasi, bahkan keputusan politik dan ekonomi berlangsung melalui medium digital. Tanpa pengaplikasian etika, kehidupan digital berpotensi merusak tatanan sosial. Maka, etika digital harus menjadi bagian dari kesadaran kolektif kita agar dunia maya tetap dapat dinikmati sebagai cerminan kehidupan nyata yang manusiawi.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah menciptakan ruang sosial baru di mana “cybernation” memunculkan bentuk-bentuk organisasi sosial yang mengaburkan batas antara realitas dan dunia virtual. Lihat saja bagaimana teknologi seperti deepfake memungkinkan manipulasi kenyataan dalam berbagai format—teks, gambar, maupun video—yang kebenarannya sulit diverifikasi.
Salah satu paradoks terbesar di dunia digital adalah bahwa kebebasan yang ditawarkannya justru kerap mengarah pada dehumanisasi. Media sosial, yang awalnya dirancang sebagai ruang berbagi dan penguat relasi sosial, kini sering menjadi arena perundungan, manipulasi, dan polarisasi. Dalam hitungan detik, hoaks dapat menyebar ke jutaan orang, sementara jejak digital kita—yang terekam oleh algoritma tak kasatmata—secara perlahan menggerogoti ruang privat.
Anonimitas di dunia maya sering kali disalahgunakan sebagai celah untuk menghindari tanggung jawab moral. Perspektif filsuf Jean-Paul Sartre menekankan bahwa kebebasan sejati harus diiringi tanggung jawab atas setiap tindakan. Namun, avatar dan nama samaran menciptakan ilusi kebebasan tanpa konsekuensi. Akibatnya, individu merasa bebas untuk melontarkan ujaran dan perilaku yang tak akan mereka lakukan dalam interaksi tatap muka. Tanpa umpan balik langsung, kesadaran akan keberadaan manusia nyata di balik setiap akun pun mulai memudar.
Di sinilah ajaran etika klasik menemukan relevansi barunya. Al-Ghazali menekankan bahwa dasar etika terletak pada pembentukan karakter moral, yang tercermin dalam kejujuran, amanah, dan menjaga lisan—prinsip yang kini sangat penting di era digital.
Kejujuran berarti tidak menyebarkan disinformasi, amanah mengacu pada tanggung jawab menjaga data pribadi dan tidak menyalahgunakannya, sedangkan menjaga lisan berarti berkomunikasi secara etis di ruang daring—menghindari cyberbullying, ujaran kebencian, serta komentar merendahkan yang merusak martabat orang lain.
Melalui konsep ‘asabiyyah-nya, Ibn Khaldun menekankan pentingnya solidaritas sosial sebagai inti peradaban. Di dunia digital yang semakin individualistis dan terfragmentasi oleh algoritma yang menciptakan ruang gema (echo chamber), prinsip solidaritas ini semakin relevan. Solidaritas digital dapat diwujudkan melalui komunitas online yang suportif, aksi sosial digital yang konstruktif, serta penolakan terhadap polarisasi yang merusak kohesi sosial.
Sejak masa Yunani Kuno, etika telah menjadi fokus perdebatan para filsuf. Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, menyatakan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) dicapai melalui keutamaan intelektual dan moral. Keutamaan intelektual diperoleh melalui pengajaran, sedangkan keutamaan moral dibentuk melalui pembiasaan.
Kita belajar menjadi adil dengan melakukan tindakan yang adil, demikian pula dengan keutamaan lainnya. Meskipun awalnya terasa dipaksakan, pembiasaan ini pada akhirnya akan membentuk karakter dan menumbuhkan kenikmatan intrinsik dalam berbuat baik.
Kutipan Hamlet kepada ibunya juga menjadi pengingat penting: lakukanlah keutamaan, meskipun belum menjadi kebiasaan. Kebiasaan, sebesar apa pun pengaruhnya, masih bisa diubah oleh akal sehat dan niat baik.
Di dunia maya, prinsip ini harus diterapkan dalam bentuk konsistensi menyebarkan informasi yang benar, menjaga amanah dalam pengelolaan data pribadi, serta membangun interaksi daring yang beradab dan bermartabat.
Dunia digital bukan hanya ruang teknologi, tetapi juga ruang moral yang menuntut kesadaran etis mendalam. Menjaga integritas di dunia maya tidak cukup hanya melalui regulasi atau kebijakan platform. Lebih dari itu, diperlukan kesadaran individu akan konsekuensi dari setiap tindakannya. Pendekatan yang menyeluruh dan komprehensif sangat dibutuhkan.
Dengan demikian, di era teknologi yang tak terelakkan ini, setiap individu memikul tanggung jawab untuk menggunakan teknologi secara bijaksana dan bertanggung jawab. Verifikasi konten sebelum menyebarkannya—baik dalam bentuk teks, gambar, audio, maupun video—merupakan langkah awal yang penting. Pertimbangkan pula dampaknya terhadap individu, kelompok, dan tatanan sosial, termasuk aspek privasi, kesetaraan, dan keadilan.
Kita tidak boleh hanya terpukau oleh segala kemudahan yang ditawarkan teknologi. Sebaliknya, kita perlu secara aktif merefleksikan dan mengantisipasi konsekuensi etis yang mungkin timbul, seperti bias algoritmik, manipulasi informasi, dan potensi penyalahgunaan teknologi.
Sekali lagi, kemajuan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Namun, keberlanjutan manfaatnya sangat bergantung pada penanaman nilai-nilai etika yang kuat dalam setiap aspek pengembangan dan penggunaannya. Jika gagal mengintegrasikan etika dalam teknologi, kita akan menghadapi berbagai dampak negatif, dari hilangnya kepercayaan publik hingga perpecahan sosial yang semakin tajam. Karena itu, edukasi, regulasi yang adaptif, serta pengembangan standar etika yang jelas dan tegas menjadi langkah-langkah mendesak agar teknologi benar-benar menjadi alat pemberdayaan, bukan alat yang mencelakakan.
Sumber foto: muhajirin3.com.