Alih-alih sekadar meratapi bercampurnya “kebijaksanaan dan kebohongan” di belantara digital, kita perlu menelisik lebih dalam: bukankah lanskap maya saat ini justru dikendalikan oleh algoritma yang cenderung tidak etis?
Arus informasi yang deras bukan semata cerminan peradaban an sich, melainkan hasil kurasi dan amplifikasi oleh sistem yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan (engagement), sering kali dengan mengorbankan kebenaran dan keadilan.

Pertanyaan seperti “apakah manusia masih teguh berdiri di atas nilai-nilainya?” terdengar naif di tengah arsitektur digital yang secara aktif mengikis fondasi nilai tersebut. Kita tidak sekadar “tenggelam dalam ketidakjelasan”, melainkan didorong masuk ke dalam labirin disinformasi dan polarisasi oleh mesin-mesin yang tidak memiliki kompas moral. Karena itu, satu hal yang sangat krusial dan tak bisa kita abaikan adalah persoalan etika.
Mengapa dunia digital perlu diatur oleh etika? Karena kehidupan digital kini merepresentasikan sebagian besar kehidupan nyata manusia. Banyak aktivitas sosial, komunikasi, bahkan keputusan politik dan ekonomi berlangsung melalui medium digital. Tanpa pengaplikasian etika, kehidupan digital berpotensi merusak tatanan sosial. Maka, etika digital harus menjadi bagian dari kesadaran kolektif kita agar dunia maya tetap dapat dinikmati sebagai cerminan kehidupan nyata yang manusiawi.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah menciptakan ruang sosial baru di mana “cybernation” memunculkan bentuk-bentuk organisasi sosial yang mengaburkan batas antara realitas dan dunia virtual. Lihat saja bagaimana teknologi seperti deepfake memungkinkan manipulasi kenyataan dalam berbagai format—teks, gambar, maupun video—yang kebenarannya sulit diverifikasi.
Salah satu paradoks terbesar di dunia digital adalah bahwa kebebasan yang ditawarkannya justru kerap mengarah pada dehumanisasi. Media sosial, yang awalnya dirancang sebagai ruang berbagi dan penguat relasi sosial, kini sering menjadi arena perundungan, manipulasi, dan polarisasi. Dalam hitungan detik, hoaks dapat menyebar ke jutaan orang, sementara jejak digital kita—yang terekam oleh algoritma tak kasatmata—secara perlahan menggerogoti ruang privat.