Malam 1 Suro dalam Bingkai Fungsionalisme Durkheim

Setiap tahun, terkhusus masyarakat Jawa, melaksanakan peringatan malam 1 Suro. Ia dititimangsa sebagai awal tahun baru dalam kalender Jawa yang memiliki makna spiritual. Masyarakat Jawa, sebagai subjek tradisi ini, melaksanakan kegiatan seperti tirakat, tapa bisu, kungkum di sungai, ziarah kubur hingga membagikan bubur Suro. Tradisi ini sebagai manifestasi nilai-nilai kebudayaan yang telah diwariskan sejak zaman leluhur.

Dalam perspektif fungsionalisme Durkheim, tindakan kolektif semacam ini mencerminkan sebuah “kesadaran kolektif” (collective conscience) yang mengikat individu dalam masyarakat dengan norma-norma dan nilai-nilai bersama. Tradisi ini memiliki fungsi penting untuk menjaga solidaritas sosial dan memperkuat tatanan masyarakat, terutama masyarakat tradisional yang masih berpegang pada nilai-nilai komunal dan spiritual.

Advertisements

Masyarakat yang menjalankan ritual ini sebagai bagian dari kewajiban budaya, karena mereka percaya bahwa malam 1 Suro adalah waktu yang sakral dan menjadi momen terbaik untuk menyucikan diri secara lahir dan batin. Predikat dari tindakan mereka berupa menjalani keheningan, menjauh dari keramaian, dan merenungkan perjalanan hidup. Sedangkan, objeknya adalah diri mereka sendiri dan kehidupan yang dijalani selama setahun ke belakang.

Keterangan waktunya sangat spesifik, yaitu pada malam hari pertama dalam bulan Suro. Sedangkan, tempatnya dapat bervariasi, mulai dari sungai, pantai, makam leluhur, hingga keraton.

Melalui proses ini, individu dalam masyarakat sesungguhnya sedang membangun hubungan spiritual dan sosial secara bersamaan. Mereka mendekatkan diri kepada kekuatan Ilahi atau gaib. Selain itu, juga mempererat ikatan kebersamaan karena merasakan pengalaman yang sama dalam menjalani ritual. Hal ini mengukuhkan gagasan Durkheim bahwa ritual kolektif memiliki peran penting dalam menciptakan keteraturan dan stabilitas sosial.

Jika ditelaah lebih dalam, setiap elemen dalam tradisi 1 Suro dapat dilihat melalui kacamata fungsional. Misalnya, ketika seseorang menjalani tapa bisu (berdiam diri tanpa berbicara selama semalam), tindakan ini menjadi simbol pengendalian diri serta alat kontrol sosial. Masyarakat secara tidak langsung diajarkan untuk tidak gegabah dalam bertindak, menahan diri, dan belajar introspeksi. Ini adalah fungsi edukatif dan moralistik dari tradisi tersebut.

Ketika masyarakat berkumpul untuk berdoa bersama di makam leluhur atau di punden desa, mereka sedang memperkuat jaringan sosial dan identitas komunal. Predikat mereka adalah berkumpul. Objeknya adalah doa dan leluhur. Sedangkan, keterangan tempatnya adalah lokasi keramat yang dianggap sakral oleh komunitas. Tradisi ini memberi ruang bagi masyarakat untuk menghormati sejarah, mengenang nilai-nilai lama, dan menyalurkan rasa hormat kepada para pendahulu.

Menurut Durkheim, semua agama dan ritual pada dasarnya adalah cermin dari struktur sosial masyarakat. Masyarakat menjadikan malam 1 Suro sebagai penanda dimulainya fase baru kehidupan, sebuah reset sosial yang penting dalam menjaga siklus kehidupan.

Fungsi lain dari tradisi ini adalah sebagai sarana regenerasi nilai dan norma. Orang tua mengajarkan kepada anak-anaknya tentang pentingnya 1 Suro, nilai-nilai kesunyian, penghormatan kepada leluhur, dan spiritualitas. Maka, proses ini menjadi wahana pewarisan budaya yang menghindarkan masyarakat dari disorientasi budaya akibat modernitas yang terus mendesak. Ini sesuai dengan konsep Durkheim bahwa ritual keagamaan berfungsi sebagai wahana edukatif dan integratif dalam komunitas.

Malam 1 Suro juga berfungsi untuk mengelola kecemasan kolektif. Di tengah dunia yang semakin tak menentu, penuh persaingan dan tekanan hidup, masyarakat butuh tempat untuk melepaskan beban dan mendapatkan ketenangan. Melalui laku tapa, masyarakat seperti sedang membuang energi negatif dan menata ulang jiwanya agar lebih siap menghadapi kehidupan di tahun berikutnya.

Hal tersebut merupakan fungsi psikologis dari tradisi, seperti yang dijelaskan Durkheim, bahwa agama dan ritual menyediakan kenyamanan emosional dan ketentraman batin yang tidak bisa diberikan oleh dunia rasional dan modernitas. Ketika seseorang berendam air di sungai pada tengah malam atau duduk diam dalam kegelapan malam Suro, ia sedang berusaha berdamai dengan dirinya sendiri dan memperbaiki relasi vertikalnya dengan Tuhan atau kekuatan yang lebih besar. Dalam situasi ini, objek utamanya adalah ketenangan batin dan predikat dari tindakannya adalah bermeditasi, berdiam, dan merenung.  Sedangkan, keterangan waktunya adalah malam pertama bulan Suro dalam suasana yang hening dan sunyi.

Semua struktur dalam ritual tersebut mengandung simbol-simbol yang telah distabilkan selama berabad-abad. Bahkan pada level budaya saat ini, banyak masyarakat modern yang masih menghormati malam 1 Suro dengan tidak melakukan hajatan, tidak mengadakan pesta, atau bahkan menolak bepergian jauh.

Meskipun rasionalisme modern telah masuk ke dalam pola pikir masyarakat, mereka tetap menjalankan nilai-nilai lama karena ada kekuatan tak terlihat yang mengikat mereka. Ini menunjukkan bahwa fungsi dari ritual 1 Suro masih sangat kuat, dan tradisi ini bekerja sebagai mekanisme sosial untuk menjaga kohesi masyarakat bahkan di tengah zaman yang semakin individualistik dan konsumtif.

Malam 1 Suro adalah ritual yang mampu menjembatani dimensi spiritual, sosial, psikologis hingga historis dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dalam kerangka fungsionalisme Durkheim, tradisi ini tidak boleh dilihat secara terpisah dari struktur masyarakatnya

Karena, justru dari sinilah kita bisa memahami bagaimana budaya, agama, dan solidaritas sosial saling membentuk kekuatan yang menjaga keseimbangan komunitas. Melalui tindakan-tindakan simbolis yang dilakukan masyarakat pada malam 1 Suro, terbukti bahwa nilai-nilai lama masih hidup, berfungsi, dan membentuk jaring kehidupan sosial yang kokoh.

Siapa pun yang ingin memahami mengapa tradisi ini masih bertahan di era modern, jawabannya dapat ditemukan dengan menelusuri fungsi-fungsi sosialnya yang telah dijelaskan secara terperinci oleh Emile Durkheim dalam kerangka fungsionalisme klasik yang ia bangun.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan