Liberalisasi Perempuan

1,767 kali dibaca

Perempuan butuh kebebasan. Demikian yang selalu diperjuangkan kelompok feminisme dan pejuang kesetaraan gender. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kebebasan perempuan selama ini masih kurang?

Sebelum membahas tentang diskursus kesetaraan gender, perlu dipahami tentang esensi gender yang kadung dijadikan kajian seputar jenis kelamin. Padahal dalam perkembangannya, kajian ilmu pengetahuan membagi beberapa kriteria gender dalam berbagai klasifikasi seperti; perempuan biasa, sangat feminim, lelaki biasa, sangat maskulin, hingga perempuan yang maskulin atau sebaliknya. Fakta tersebut yang menjadikan keragaman orientasi seksual seputar gender.

Advertisements

Dualisme lelaki dan perempuan cukup mengikat paradigma masyarakat yang kemudian dimaklumi sebagai keniscayaan. Penindasan terhadap perempuan dijadikan dalih peran kodrati. Perempuan membatasi kebebasan dan menutup kebahagiaan sebab informasi seputar kesetaraan gender terhalangi sistem patriarki yang sudah ada sejak lama.

Perjuangan kampanye kesetaraan gender terapaksa mengambil bentuk protopia, yakni perkembangan tahap demi tahap yang membutuhkan kesabaran dan usaha bersama secara berkelanjutan. Tidak ada perubahan sosial secara revolusioner. Belum lagi doktrin agama dan budaya yang semakin menggerus kebebasan perempuan menemukan kebahagiaan.

Paham konservatisme masih dipegang kuat masyarakat sebagai bentuk nilai pada tradisi yang telah terbukti berhasil di masa lalu. Belum ada sikap kritis terhadap pandangan konservatisme yang pada akhirnya mengorbankan perempuan sebagai objek eksploitasi lelaki. Perempuan masih dominan dijadikan objek pornografi dan pelecehan seksual. Kesannya masalah pornografi adalah tentang praktik membatasi tubuh perempuan. Tubuh perempuan dipenjara, karena takut mengundang berahi lelaki.

Pola pikir semacam ini disebabkan kultur masyarakat Indonesia yang didominasi agama-agama semitik (Yahudi, Kristen, Islam) untuk menempatkan perempuan di kelas bawah. Di bidang pendidikan, perempuan “dilarang pintar” sebab kecerdasan dianggap sebagai sumber pemberontakan yang menganggu harmonisasi masyarakat.

Lelaki diberikan kebebasan dan perempuan dikungkung batasan. Perempuan dianggap lemah dengan menempatkannya sebagai pembantu lelaki. Lelaki lebih layak diangkat sebagai pemimpin dari segala intitusi atau organisasi yang ada. Perempuan diberikan tanggungjawab seadanya tanpa melibatkannya dalam pengambilan kebijakan.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan